Jumat, 30 April 2021

DESTINATION = Destiny + Nation

DESTINATION = Destiny + Nation

Visi gereja tidak pernah lokal.

Gereja tidak pernah di-design hanya untuk mengurusi "kelokalan."

Gereja didirikan dengan tanggungjawab bangsa di mana dia ada.

Sesuai dengan namanya 'eklesia' yang berarti 'dipanggil keluar,' untuk apa?

Kata 'eklesia' adalah sebuah istilah politik yang menggambarkan demokrasi kuno yang dipraktikkan oleh bangsa Yunani.
Orang-orang yang dipanggil untuk memutuskan nasib bangsanya.

Kata yang sama dipakai oleh penulis PB untuk menyebutkan kata gereja. 

Singkatnya gereja punya tanggungjawab terhadap bangsanya.

Jika gereja hanya memikirkan kelokalan, maka dapat dipastikan gereja tidak akan melakukan fungsinya di tengah-tengah bangsa di mana dia ada.

Jika gereja hanya memikirkan kelokalan,  maka sebenarnya gereja sedang abnormal, dan dapat dipastikan gereja tidak akan menggenapi 'destiny' -nya.

Ketika gereja hanya memikirkan kelokalan, maka tembok-tembok denominasi akan terus berdiri kokoh, gereja terpecah belah, menganggap gereja lain sebagai saingan, rebutan jemaat,  TIDAK AKAN PERNAH ADA yang namanya kesatuan atau unity.

Tanpa kesatuan atau unity berarti Tubuh Kristus terpecah-pecah, tubuh yang terpecah-pecah berarti sedang sakit atau bahkan sedang koma (jika tidak mau disebut sudah mati).

Dengan kondisi demikian, tentunya tubuh tidak akan bisa berfungsi. Tidak heran kita melihat kota bahkan bangsa di mana gereja ada dikuasai oleh kejahatan, peran dan pengaruh gereja semakin merosot.

Sayangnya, hal ini tidak dapat dilihat oleh gereja yang hanya memikirkan kelokalan.

Sebab, mereka hanya melihat gereja lokalnya saja yang mungkin lebih bertumbuh (kehadiran jemaat tinggi) dibandingkan gereja lain.

Sementara sebenarnya kondisi secara umum dari gereja-gereja di kota atau bangsa di mana dia ada sedang dalam kondisi yang tidak baik.

Saya paham bahwa gereja lokal memang perlu membangun dan mempercantik diri.

Ibadah-ibadah dan program-program gereja perlu dikembangkan dengan baik, namun, jangan lupa bahwa itu semua kita lakukan demi mencapai tujuan utama, yakni menyatakan Kerajaan Allah di kota dan bangsa di mana gereja ada.

Gereja (Para pendeta&orang Kristen) harus sadar dan BERHENTI berpikir lokal, berpikirlah secara global, ambil beban dan tanggungjawab buat kota bahkan bangsanya. 

Mari bergandengan tangan, bahu membahu berdoa dan membangun kota dan bangsa, bersama-sama gereja-gereja sekota bahkan sebangsa, meski mereka berasal dari denominasi yang berbeda.

Mereka saudara sekota, sebangsa dan lebih lagi saudara seiman, mereka BUKAN saingan, mereka partner.

Keep Winning By Keeping Our Track In His Destiny!!!

#LIFEWords (Leo Imannuel Faith Enlightening Words) 

BROTHER IN TRUTH

Merenungkan persahabatan antara Daud dan Yonatan dalam 1 Samuel.

Persahabatan mereka dibangun di atas kebenaran, bukan perasaan senasib dan sepenanggungan.

Jika persahabatan mereka dibangun di atas dasar perasaan senasib dan sepenanggungan, maka sekalipun melakukan kejahatan salah satunya akan merasa berkewajiban untuk mendukung. Bahasa kerennya 'Brother in Crime"

Namun, persahabatan mereka dibangun di atas dasar kebenaran yg kokoh, sehingga sekalipun menentang ayahnya sendiri Yonatan berani melakukannya.

Persahabatan yg baik dan benar akan selalu membangun ke arah kebenaran, dan tidak memberikan toleransi sedikitpun terhadap ketidakbenaran.

Sehingga istilah 'Brother In Crime' tidak perlu digunakan untuk menggambarkan keakraban kita dengan seorang sahabat.

Istilah 'Brother in Truth' lebih tepat.

Keep Winning By Keep Making Friendship In The Truth.

#LIFEWords (Leo Imannuel Faith Enlightening Words) 

Kamis, 29 April 2021

BERKETUHANAN dan BERKEMANUSIAAN

Ketika seseorang semakin dalam beragama, dia cenderung semakin berketuhanan, namun kadang lupa berkemanusiaan. 

Maksudnya begini, 

Seseorang yang semakin berketuhanan cenderung angkuh, merasa cukup kuat untuk membela Tuhan dan menindas manusia lain, serasa ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merek) franchise Tuhan, dengan jualan produk surga, termasuk hak khusus memberi label haram, halal, berkat dan kutuk. 

Tidak heran kita melihat betapa banyaknya penyimpangan yang dilakukan oleh orang-orang beragama, baik masalah uang, seks, termasuk kekerasan. 

Maka berseliweranlah berita-berita skandal yang membuat dahi otomatis mengerenyit. 

Bahkan yang lebih memiriskan hati adalah pembelaan baik dari diri sendiri maupun pengikut, berusaha memberikan alasan logos dan rohani mengapa berbagai skandal itu halal saja dilakukan oleh tokoh-tokoh agama (pendeta) tertentu. 

Hei! Pelecehan seksual terhadap anak-anak adalah pelecehan seksual! Tidak ada pembelaan logis bisa diberikan, apalagi pembelaan teologis! 

Tetiba mereka manjadi tuhan wanna be, padahal manusia tidak akan pernah menjadi Tuhan, tidak akan pernah bisa dan tidak akan pernah mampu. 

Menurut saya, seharusnya semakin berketuhanan, seseorang juga wajib harus berkemanusiaan. 

Sedalam apapun ilmu agama, setinggi apapun jabatannya di dalam organisasi keagamaan dan sebanyak apapun pengikutnya, seorang beragama harus eling bahwa dia hanyalah manusia biasa yang tidak lepas dari kesalahan. 

Dia bukan Tuhan, sehingga tidak bisa memaksa orang lain, apalagi dengan kekerasan. 

Kekuasaannya atas manusia lain hanyalah bersifat persuasif, bujukan melalui pengajaran lembut dan teladan kehidupan. 

Jangan pernah lupa, bahwa kita berketuhanan namun juga berkemanusiaan, sehingga ajaran yang diajarkanpun adalah ajaran yang mengedepankan cinta kasih kepada sesama, siapapun dia, termasuk kepada mereka yang berbeda mazhabnya, lain rumah ibadahnya, tidak sama kitab dan nabinya. 

Kepada mereka yang berbeda itulah seharusnya cinta kasih diutamakan dalam pergaulan sehari-hari. 

Tujuan manusia bertuhan adalah supaya dia semakin berperikemanusiaan, bukan supaya menjadi Tuhan, melainkan menjadi manusia sejati, sesuai rancangan awal Tuhan ketika menciptakannya, menjadi serupa dengan diri-Nya di dalam cinta kasih dan perdamaian.

Itulah inti beragama sebagaimana yang Yesus Kristus katakan, mengenai hukum utama di dalam kitab suci Yahudi, yaitu mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama. JLI. 

#KiraKiraBegitu 

Jumat, 23 April 2021

HAL-HAL KECIL NAMUN MENENTUKAN

Perhatikanlah tokoh-tokoh Alkitab, rata-rata mereka jatuh karena hal-hal kecil yang tidak sepele, kurang diperhitungkan dan tidak berharga dibandingkan dengan nilai kekekalan Tuhan dan rencana-Nya di dalam hidup mereka.

Lihatlah Adam dan Hawa yang secara literal hidup di dalam hadirat Tuhan, terusir dari Taman Eden hanya gara-gara satu buah.

Simson yang kuat jatuh hanya karena terlalu sombong. 

Musa yang dipuji Tuhan, pemimpin besar, jatuh dan gagal masuk Tanah Perjanjian hanya karena salah bereknaan dengan mukjizat air keluar dari gunung batu.

Esau menukar hak kesulungannya dengan semangkuk kacang merah. 

Daud, yang perkasa dan mampu mengalahkan Goliat, jatuh hanya karena seorang perempuan.

Kenapa hal-hal kecil bisa menjatuhkan?

Kita jatuh terselandung dan luka karena batu-batu kecil yang tidak terlihat.

Sementara batu-batu besar lebih kita antisipasi, padahal hal-hal kecil bisa lebih berpotensi menjatuhkan daripada hal-hal besar. 

Sebagaimana hal-hal kecil yang negatif bisa menjatuhkan, demikianlah hal-hal kecil yang positif juga berpotensi membangun hidup manusia. 

Itulah mengapa Tuhan Yesus berfirman di dalam Lukas 16:10
"Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar.
banyak orang fokus kepada hal-hal besar dan agak mengabaikan hal-hal kecil."

Bahkan, di dalam Matius 25 ayat 21 ditambahkan bahwa hal-hal besar dianugerahkan karena kesetiaan terhadap hal-hal kecil.

Hal ini bukan berarti kita tidak boleh memiliki Cita-cita besar, Toda demikian.

Tentu boleh.

Miliki cita-cita besar, lalu fokuslah terhadap hal-hal kecil yang dapat mewujudkan cita-cita besar itu.

Hal-hal kecil seperti disiplin, menepati janji bahkan ketika rugi, mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk sebuah presentasi misalnya, mempersiapkan produk berkualitas meski usaha masih berskala kecil, dan lain sebagainya.

Setialah melakukan hal-hal kecil yang melatih Anda menjadi seorang pribadi berintegritas. 

One step at a the time.

Even if it's only a small step.

Selamat mencoba. 

#LIFEWords (Leo Imannuel Faith Enlightening Words) 

Jumat, 02 April 2021

TOPENG

Khotbah hanyalah sebuah output dari sesuatu yang jauh lebih besar, yakni percengkramaan kita bersama Sang Firman di dalam perenungan yang mendalam.

Memimpin pujian dan penyembahan hanyalah sebuah output dari sesuatu yang jauh lebih serius, yaitu disiplin diri di dalam penyembahan pribadi di ruang sunyi.

Keramahtamahan, senyum, greeting, ushering, kesabaran juga hanyalah sebuah output dari sesuatu yang jauh lebih dahsyat, yakni pembaharuan manusia batiniah oleh Roh Kudus dari hari ke sehari di dalam roh pertobatan.

Nah, output-nya bisa dipalsukan, namun prosesnya tidak pernah bisa diimitasikan.

Prosesnya memang melelahkan, namun membebaskan. 

Output yang dipalsukan biasa diistilahkan sebagai topeng, dan mengenakan ini lebih melelahkan daripada sabar dan setia berproses.

#LIFEWords (Leo Imannuel Faith Enlightening Words) 

Kamis, 01 April 2021

PENANGKAPAN YESUS

Yesus ditangkap atau menyerahkan diri?

Di dalam narasi penangkapan Yesus, Matius 18:3 mencatat Yudas membawa “sepasukan prajurit dan penjaga-penjaga Bait Allah“  lengkap dengan lentera, suluh dan senjata.

Berapakah jumlah prajurit dalam kata "sepasukan prajurit?"

Kata prajurit berasal dari kata Yunani Legion, sebuah grup pasukan berjumlah 6000 orang.

Dalam Yohanes 18:3 dikatakan bahwa Yudas datang "dengan sepasukan prajurit dan penjaga-penjaga Bait Allah" lengkap dengan lentera, suluh dan senjata."

Sepasukan di sini dari bahasa Yunani 1 speira yaitu sepesepuluh dari 1 Legion, berarti hanya sekitar 600 orang, bersenjata pedang dan pentung, termasuk lentera, karena gelapnya malam, padahal mereka hanya mau menangkap Yesus yang hanya disertai oleh belasan orang! 

Mungkin karena pengalaman sebelumnya, Yesus selalu berhasil meloloskan diri dengan cara-cara yang ajaib (Luk 4:30  Yoh 8:59  10:39). 

Sehingga seka­rang mereka melakukan persiapan penangkapan sedemikian rupa, supaya tidak gagal lagi. 

Namun, apakah karena banyak pasukan mereka berhasil menangkap Yesus? 

Dalam Matius 26:53 Tuhan Yesus menegur Petrus yang menghunuskan pedangnya, 

"Atau kausangka, bahwa Aku tidak dapat berseru kepada Bapa-Ku, supaya Ia segera mengirim lebih dari dua belas pasukan malaikat membantu Aku?" (bdk. 2 Raja-Raja 6:15-17). 

Berapa banyakkah kira-kira dua belas pasukan malaikat itu?

12 Legion Malaikat jika di kali 6000 orang maka berjumlah  72 ribu malaikat.

Di dalam 2 Raja-Raja 19:35, dituliskan seorang malaikat mampu membunuh 185 ribu orang!

Siapakah yang mampu menangkap Tuhan Yesus?

Dalam narasi penangkapan di Yohanes 18:6 dikisahkan sewaktu Tuhan Yesus menampilkan dirinya  

"Akulah Dia," mundurlah mereka dan jatuh ke tanah. 

Baru bicara saja mereka sudah rebah, apalagi jika Yesus bertindak, tentu akan lebih mengerikan hasilnya. 

Jadi jelaslah beliau tidak ditangkap melainkan menyerahkan diri. (Bdk. Yohanes 10:17-18). 

Mengapa demikian? 

Kasih kepada Bapa dan manusia adalah jawabannya. 

Kasih yang melahirkan ketaatan akan tanggungjawab penyelenggaraan keselamatan melalui korban diri-Nya sendiri. 

Di Getsemani Dia berdoa, 

"Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki."

Dia ditangkap bukan karena tidak berdaya, melainkan karena mengasihi kita.

#LIFEWords (Leo Imannuel Faith Enlightening Words)