Sabtu, 4 April menjadi salah satu hari yang paling melelahkan di dalam hidup saya.
Setelah sebelumnya, sejak tgl. 26 Maret Saya menderita demam tinggi, turun naik, batuk-batuk, susah makan, tidak bisa tidur, mimpi buruk, gelisah, hingga akhirnya memutuskan untuk ke rumah sakit.
Hasil test lab darah, rongent thorax dan CT Scan Thorax, hasilnya ada flex pada paru-paru, yang semua mengarah positif Covid-19.
Sebelum hasil diberitahukan, tiba-tiba ranjang saya di IGD dipindahkan ke ruangan sendiri yang dinginnya luar biasa.
Kelaparan, kehausan, kedinginan, sendirian, tanpa informasi apapun, saya mulai curiga pasti ada yang salah, sampai istri saya datang sambil menangis, menerangkan hasil lab kita berdua tidak bagus.
Pada detik itu kekuatan fisik dan emosi saya sudah sampai titik nadir.
Atas saran seorang kawan, sore itu kami memutuskan untuk melakukan swab tes di sebuah Rumah Sakit swasta di Jakarta Selatan.
Istri saya setir.
Swab test tidak dilakukan di ruang ber-ac yang nyaman, melainkan di pinggiran rumah sakit, tanpa AC, tanpa toilet.
Mereka membangun bedeng-bedeng sederhana.
Kekuatan saya benar-benar sudah habis, lemas, demam, perasaan tidak enak campur baur jadi satu, menahan ke belakang, mengantuk, dan lain sebagainya.
Sampai akhirnya kami dipanggil, di wawancara 2 kali di dua bedeng yang berbeda, sebelum akhirnya swab test dilakukan, di bagian belakang rumah sakit, masih di dalam bedeng.
Hari itu selesai.
Sesampainya di rumah, saya segera mandi, masuk kamar isolasi dan tidur.
Puji Tuhan, 1 hari terlewati.
Penyakit ini telah menyedot habis kekuatan saya secara fisik, rohani maupun jiwani.
Iman yang perkasa tertunduk, keceriaan mendadak pergi berlibur entah kemana, tubuh lemah, tidak ada semangat sama sekali.
Tuhan ada di mana?
Tidakkah saya berdoa?
Apakah Tuhan tidak mendengar doa-doa saya?
Lalu saya belajar apa dari ini semua?
Begini, Tuhan tidak pernah meninggalkan umat-Nya.
Dalam konteks saya Dia menunjukkan penyertaan-Nya melalui jemaat yang sangat perduli dengan kami, sahabat-sahabat yang langsung bergerak membantu kami, orang-orang jauh yang bahkan kami belum pernah berjumpa mengirimkan berbagai macam multi vitamin, madu, obat bahkan makanan, sekedar menanyakan kabar, mendoakan, mengirimkan berbagai macam artikel maupun video yang menguatkan.
Pada masa-masa sulit seperti ini yang mereka lakukan memberikan kekuatan dan penghiburan yang tidak sedikit bagi saya dan istri.
Kami berhutang kepada setiap saudara.
Dalam penderitaan itu saya berdoa meminta kesembuhan, namun tidak terjadi, pada saat-saat seperti itu saya belajar artinya berserah.
Tidak ada hal lain dapat dilakukan.
Berserah karena memang sudah tidak punya apa-apa lagi untuk diandalkan, berserah karena memang lemah dan rentan, berserah karena bahkan berdoapun sudah tak bisa, berserah karena memang sudah tidak memiliki apapapun untuk diandalkan, tidak ada bayangan pengharapan akan kesembuhan sama sekali.
Berserah, karena hanya itu satu-satunya yang masih dapat dilakukan.
Saya teringat perkataan Asaf:
"Sekalipun dagingku dan hatiku habis lenyap, gunung batuku dan bagianku tetaplah Allah selama-lamanya." (Mazmur 73:26)
Saya dibawa kepada keadaan di mana mau tidak mau mengatakan bahwa bagianku tetaplah Allah selama-lamanya.
Seseorang tidak akan pernah bisa benar-benar berserah kepada Tuhan sampai dia merasa sudah tidak punya apa-apa lagi yang dapat diandalkan.
Bahkan harapan untuk sembuh secara mukjizatpun tidak diberikan.
Ketika mukjizat sirna, berkat-berkat jasmani tidak lagi berharga, berbagai karunia roh tidak bekerja, hikmat padam, saya tidak bisa berpikir apapun, kegagahan seorang hamba Tuhan hilang, lalu apa yang sisa?
Yang sisa hanya hati yang mengasihi Tuhan.
Saya teringat suatu malam saya berdoa sambil menangis, mengulangi dua buah ayat yang menjadi pokok doa harian kami, sebuah doa rutin yang entah mengapa malam itu menjadi berbeda, saya mengangkat tangan, bercucuran air mata, tidak banyak berkata-kata, hanya panggilan "Tuhan Yesus!"
Dan ajaibnya saya tahu Dia mengerti, saya tahu Dia perduli, saya tahu Dia ada bersama saya sepanjang perjalanan ini.
Hanya itu, tidak ada yang spektakuler, tidak ada penglihatan atau nubuatan, hanya sebuah hubungan hati, sebuah hubungan bathin, dan itu cukup untuk menyegarkan roh saya bahkan hingga hari ini, ketika hasil swab test menyatakan saya negatif Covid-19, saya masih isolasi diri di kamar.
Ah, masih banyak sisi-sisi lain yang bisa saya ceritakan, mungkin besok atau lusa saya menulis lagi.
Hamba Tuhan
Leo Imannuel
#LIFEWords (Leo Imannuel Faith Enlightening Words)