Senin, 21 November 2022

EMBRIO PERBUATAN DOSA

Kejadian 3:1-6
(1) Adapun ular ialah yang paling cerdik dari segala binatang di darat yang dijadikan oleh TUHAN Allah. Ular itu berkata kepada perempuan itu: "Tentulah Allah berfirman: Semua pohon dalam taman ini jangan kamu makan buahnya, bukan?"
(2) Lalu sahut perempuan itu kepada ular itu: "Buah pohon-pohonan dalam taman ini boleh kami makan, 
(3) tetapi tentang buah pohon yang ada di tengah-tengah taman, Allah berfirman: Jangan kamu makan ataupun raba buah itu, nanti kamu mati."
(4) Tetapi ular itu berkata kepada perempuan itu: "Sekali-kali kamu tidak akan mati, 
(5) tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat."
(6) Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagipula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian. Lalu ia mengambil dari buahnya dan dimakannya dan diberikannya juga kepada suaminya yang bersama-sama dengan dia, dan suaminya pun memakannya.

Demikianlah percakapan singkat antara ular dengan Hawa.

Cobalah membuat drama singkat menggunakan percakapan di atas, kira-kira normalnya berapa lamakah percakapan di atas dapat diselesaikan?

Saya pernah, dan dalam hitungan detik, selesai.

Seriously, Anda yakin hanya dengan percakapan demikian singkat Hawa dengan mudahnya jatuh ke dalam dosa dan Adam dengan gampangnya begitu saja menerima buah dari istrinya? 

Saya kok tidak yakin ya. 

Coba kita renungkan sejenak, dari semua manusia hanya Adam dan Hawa yang memiliki keintiman luar biasa dengan Tuhan.

Mereka hidup pada zaman di mana manusia dapat mencapai tingkat kekudusan tertinggi, karena belum ada dosa.

Tingkat keintiman Adam dan Hawa dengan Tuhan tersirat di dalam Kejadian 3:8, 

"Ketika mereka mendengar bunyi langkah TUHAN Allah, yang berjalan-jalan dalam taman itu pada waktu hari sejuk, bersembunyilah manusia dan isterinya itu terhadap TUHAN Allah di antara pohon-pohonan dalam taman."

Kalimat "mereka mendengar langkah kaki Tuhan" menyiratkan sebuah bentuk keintiman.

Dengan tingkat kekudusan dan keintiman demikian tentunya Anda akan setuju dengan saya bahwa tidak semudah itu Adam dan Hawa jatuh bukan?

Jadi bagaimana dong?

Jadi, menurut saya begini, tidak ada seorangpun yang keluar rumah lalu mendadak menjadi seorang penzinah, pencuri atau pembunuh. 

Setiap orang pasti memiliki kekuatan tatanan etis moral hasil didikan keluarga dan agama, jadi tidak mungkin seseorang langsung membunuh, mencuri atau berzina. 

Pasti sebelumnya ada stimulus dari luar, sebuah keinginan karena kebutuhan yang diendapkan di dalam jiwa dan terngiang-ngiang setiap saat, sehingga menjadi sebuah tindakan, sebagaimana yang tertulis di dalam Yakobus 1:15

"Dan apabila keinginan itu telah dibuahi, ia melahirkan dosa; dan apabila dosa itu sudah matang, ia melahirkan maut."

Kembali ke Hawa, percakapannya dengan ular tentunya tidak sesingkat dan sesederhana itu.

Pasti sebelumnya sudah ada percakapan sejenis yang diulang terus menerus.

Awalnya Hawa memberikan argumentasi untuk menolak, namun lambat laun pikiran memberi berbagai alasan yang melemahkan argumentasi tersebut.

Bahkan, meskipun percakapan dengan ular tidak intens, namun ide "menjadi sama dengan Allah," telah tertancap di dalam pikiran, sehingga menimbulkan percakapan dengan akal sehat.

Secara praktis percakapan ini kita kenal dengan nama godaan, cobaan atau rangsangan yang menimbulkan keinginan.

Sampai di sini, mengertikah Anda mengapa bahwa Kain, tidak serta merta membunuh Habel.

Tidak dalam semalam Daud berselingkuh dengan Batsyeba, serta membunuh suaminya.

Tidak mendadak Yudas menjual Tuhan Yesus seharga 30 keping uang perak.

Perhatikan dan selidikilah keinginan kita, patahkan segera apa yang tidak berkenan kepada Tuhan.

Bahkan meskipun keinginan tersebut tampaknya baik, namun untuk meraihnya dengan menghalalkan segala cara, dia mesti dipatahkan sebelum dia menyeret dan memikat hati kita.

#KiraKiraBegitu

#LIFEWords (Leo Imannuel Faith Enlightening Words)

#PursuingGodsHeart

Sabtu, 12 November 2022

KEMENANGAN HAKIKI

2014

Kemenangan tidak selalu diwarnai oleh gegap gempita keramaian, sorak sorai, perasaan meledak-ledak, ucapan selamat, dan kalungan medali.

Sebaliknya, kekalahan kadangkala dirayakan dengan gegap gempita dan kepuasan.

Kemenangan diraih tanpa sorak sorai, sepi, tanpa ada yang tahu, dalam perasaan sedih. Karena bagaimana kita bisa bersukacita kala mengampuni musuh yang telah menyakiti sedemikian rupa? Bagaimana kita bisa bersorak sorai kala menahan diri untuk tidak marah dan menahan emosi?

Tapi sesungguhnya di dalam hati kita tahu sedang melakukan kebenaran. Di sana di lubuk hati terdalam kita tahu bahwa surga berkenan terhadap perjuangan kita.

Kekalahan disambut sebagai kemenangan adalah sebuah dusta (Yoh 8:44), kita merasa puas karena berhasil memuaskan ego, kesombongan bahkan dendam. 

Namun, sebenarnya sedang kalah, dikalahkan oleh dusta, ambisi, ego dan kesombongan sendiri.

Ingatlah bahwa kemenangan adalah hasil memertahankan dan melakukan kebenaran, dan tidak ada hubungannya dengan medali atau penghargaan manusia.

"Orang yang sabar melebihi seorang pahlawan, orang yang menguasai dirinya, melebihi orang yang merebut kota." Amsal 16:32

Keep Winning by Keep Winning 

In His Movement
JLI @AOCJakarta

Senin, 07 November 2022

BAGAIMANA SEBAIKNYA MEMBUKA dan MENUTUP HARI

Mazmur 92:2-3
(2) Adalah baik untuk.....“
(3) "untuk memberitakan kasih setia-Mu di waktu pagi dan kesetiaan-Mu di waktu malam"

Apa yang pertama kita lakukan ketika bangun pagi? 

Memegang hp? Atau segera mencari Tuhan dalam saat teduh? 

Menurut Mazmur, adalah baik (ṭôḇ = baik, menyenangkan, memakmurkan) untuk membuka hari dengan memberitakan kasih setia Tuhan dan menutupnya dengan memberitakan kesetiaan-Nya di waktu malam hari. 

Kata 'memberitakan' di atas diterjemahkan dari kata Ibrani nāḡaḏ yang dapat juga diartikan sebagai mendeklarasikan, memproklamirkan, mengakui.

Amplified Bible dan NKJV menerjemahkannya dengan kata declare (menyatakan), sementara NIV menggunakan kata proclaiming (memproklamirkan). 

Kasih setia diterjemahkan dari kata Ibrani ḥeseḏ yang dapat diartikan kebaikan, pertolongan, anugerah bahkan sikap hati kepada Tuhan yang suci. 

Beberapa terjemahan Alkitab berbahasa Inggris menerjemahkannya dengan kata love atau kasih

Sementara kata kesetiaan diterjemahkan dari kata ĕmûnâ  yang bisa berarti kesetiaan, keteguhan, juga keamanan. 

Jadi, mari kita membuka hari dengan memproklamasikan kasih dan kebaikan Tuhan bahwa semalam telah berlalu, fajar pagi merekah tanda hari baru akan segera dimulai. 

Ini sama artinya kita memercayakan hari baru itu kepada Tuhan karena percaya akan kebaikan Tuhan, bahwa pertolongan-Nya yang kita butuhkan. 

Jam-jam pertama di hari itu kita menyerahkan diri dan seluruh rencana yang kita buat ke dalam tangan Tuhan yang perkasa. 

Secara gestur rohani hal ini merupakan tanda penyerahan dan kebergantungan diri kepada Tuhan, Dia besar kita lemah, oleh karenanya kita berserah kepada Tuhan. 

Kemudian, di malam hari kembali kita mengangkat tangan sebagai tanda syukur atas pimpinan-Nya di hari yang akan segera berlalu dengan cara mendeklarasikan kepada-Nya bahwa Dia telah setia menuntun setiap langkah-langkah hidup kita. 

Membuka kesadaran diri bahwa jika hari itu dapat dilalui semua karena pimpinan dan pemeliharaan-Nya. 

Hidup kita aman karena perlindungan-Nya, ini adalah tanda syukur atas pemeliharaan-Nya, dengan melakukannya kita menjadi umat yang tahu berterima kasih.

Kemudian menyerahkan tidur kita kepada kesetiaan-Nya, agar semalam dapat berlalu dan esok hari bangun dengan kesegaran baru. 

Betapa indahnya memulai dan menutup hari bersama Tuhan.

Yuk, kita membuka hari dengan mendeklarasikan kebaikan Tuhan dan malam ini tutup hari dengan ucapan syukur.

#LIFEWords (Leo Imannuel Faith Enlightening Words)

Minggu, 06 November 2022

TUHAN, SANG TAMU UNDANGAN

Ketika sedang menyembah Tuhan di acara Just Worship, Sabtu, 5 November 2022 kemarin, saya diingatkan bahwa sering kali kita mengundang Tuhan hadir dalam ibadah di gereja.

Jika gereja adalah rumah Tuhan, lalu mengapa kita mengundang-Nya hadir? Bukankah itu rumah-Nya?

Seharusnya kitalah yang diundang-Nya?

Kecuali jika kita telah menjadikan Tuhan tamu undangan di rumah-Nya sendiri. 

Entah secara sadar atau tidak, dengan demikian sebenarnya kita sedang menyandera Tuhan di dalam rumah-Nya sendiri. 

Coba kita selisik sejenak, apa pertimbangan utama dari pemilihan lokasi pendirian gereja? Apa tujuan utama membangun gedung gereja nan megah dengan design interior yang wah? Apa motivasi pertama dari menyiapkan ibadah, apakah itu musik, pemain dan peralatan sound system yang mewah dan mahal, termasuk para pemuji yang bersuara merdu dengan sosok yang rupawan menawan?

Apakah Tuhan?

Bukan, tujuannya adalah jemaat.

Gereja telah menjadikan jemaat sebagai konsumen yang mesti dipuaskan, menjadi penonton konser yang mesti dibuat terpana oleh penampilan mingguan personel ibadah.

Di mana Tuhan?
Apakah pendapat-Nya menjadi  penting untuk didengar, bahkan lebih lagi, ditaati?

Dari satu-satunya pribadi yang mesti dipuaskan dalam setiap ibadah, Tuhan telah diubah menjadi salah satu komoditas yang ditawarkan dan dijanjikan oleh gereja kepada para konsumen, yakni jemaat.

Tentunya tidak salah mengelola gereja dan ibadah dengan baik, namun jika dengannya kita melupakan dan 'menyingkirkan' Tuhan dari rumah-Nya sendiri, tentunya sebuah pertobatan ekstrim mesti dilakukan.

Semua komponen ibadah, baik peralatan, para pelayan maupun jemaat wajib memuaskan satu-satunya pribadi yang layak, yaitu Tuhan, Sang Tuan Rumah sendiri.

Segala sesuatu yang menjadikan sebuah gereja menjadi gereja, mesti ditujukan kepada Tuhan dan hanya Tuhan saja.

Kesadaran bahwa kita ini tamu undangan Tuhan di rumah Tuhan, seharusnya merubah perilaku kita ketika beribadah kepada-Nya.

Adalah sebuah kehormatan besar bagi manusia berdosa seperti Anda dan saya dapat diundang masuk ke dalam hadirat-Nya, diizinkan masuk ke dalam rumah Tuhan (bukan sekedar gedung), diberi keistimewaan untuk bisa memuji dan menyembah-Nya, bahkan memanggil-Nya Bapa.

Semua itu karena korban Yesus Kristus di atas Golgota, pada kayu melintang, salib.

Tuhan Yesus ampuni saya.

#LIFEWords (Leo Imannuel Faith Enlightening Words) 

Selasa, 01 November 2022

BERANI JUJUR

Kita mengagumi sesuatu yang dianggap sebagai kelebihan seseorang, hanya karena tidak mengetahui "isi dapurnya."

Sampai kita mengetahui berbagai manipulasi dan kebohohongan yang dilakukannya agar nampak baik bahkan lebih di mata orang,  maka kekaguman akan berubah menjadi ketidaksukaan.

Nah, bayangkanlah, bagaimana Tuhan yang Maha Tahu memandang hidup manusia yang bertopeng dan berpura-pura. 

Dia Tahu segalanya.

Dia paham betul semua topeng itu.

Dia mengerti semua kepura-puraan.

Dia sangat mafhum semua kelemahan bathin manusia akibat hidup dalam kepalsuan.

Matanya melihat sampai ke kedalaman jiwa, menebus semua topeng, memandang wajah asli dibalik senyuman manis namun bathin kosong melompong, menyelisik jiwa merana yang coba ditutupi dengan tawa, mengetahui keadaan asli dibalik semua gemerlap aksesoris yang melekat di tubuh.

Oleh karenanya Dia meminta setiap kita datang dengan jujur. 

Berani. 

Berani untuk jujur, pertama-tama bukan terhadap-Nya, melainkan berani jujur kepada diri sendiri.

Datang pada-Nya dengan apa adanya, bukan ada apanya.

Lepaskan, tanggalkan, dan singkapkan segalanya kepada Dia Yang Maha Tahu.

Selama kepalsuan masih dipertahankan pemulihan dan perbaikan akan menjauh, semakin menjauh, lalu hilang di lautan dusta diri.

Kita datang kepada-Nya, karena
Dia kuat, kita lemah, 
Dia kaya, kita miskin,
Dia berkuasa, kita tidak,
Dia kudus, kita penuh noda,
Dia baik dan penuh anugerah, pintu-Nya terbuka.

Kita tidak akan dikuatkan jika pura-pura kuat, tidak diberkati jika sok kaya, dan merasa memiliki kuasa, oleh karena sombong dan menolak bergantung kepada-Nya.

Jujurlah.

Berani jujur, kepada diri sendiri dan kemudian kepada Tuhan.

#LIFEWords (Leo Imannuel Faith Enlightening Words)