Beberapa waktu lalu saya dan istri ada janji makan malam bersama sahabat kami, suami, istri dan putri mereka di satu restoran di suatu pusat perbelanjaan tertentu.
Melihat saya dan istri berjalan menuju restoran mereka seorang pramusaji langsung menyambut kami dengan sangat ramah, hangat dan bersemangat.
Hati kami senang dengan sambutannya.
Sang pramusaji mengantar saya dan istri ke dalam dan memastikan berjumpa dengan sahabat kami.
Di meja kami dilayani oleh seorang pramusaji perempuan yang lagi-lagi ramah, hangat, antusias dan sigap.
Sebut saja namanya Mala.
Mala tidak pernah membiarkan gelas kami kosong, selalu sigap mengisinya dengan air minum, bahkan menawari kami es batu, mengambilkan side dish, meracik bumbu (sambal), keduanya bukan tugas utamanya, kami para pelanggan biasa melakukannya sendiri alias self service, namun beliau tanpa ragu menawari kami untuk melakukannya dengan senang hati tanpa keluhan apapun tersirat dari nada suaranya yang lagi-lagi ramah.
Beliau melayani kami dengan antusias daaan...ramah.
Manajemen restoran ini saya acungi jempol dalam mengelola tenaga kerja mereka.
Sambil ngobrol-ngobrol saya bertanya mengapa Mala begitu ramah, antusias dan sigap, beliau menjawab nanti supervisornya bisa marah, pihak restoran menuntut mereka para pramusaji memberikan pelayanan tingkat sultan.
Sambil berseloroh saya berkata bahwa gajinya pasti gaji sultan. Di balik maskernya saya percaya Mala tersenyum kecut walaupun menjawab sambil tertawa kecil yang ramah bahwa gajinya gaji rakyat jelata.
Dengan penghasilan pas-pasan Mala dan kawan-kawannya mampu memberikan pelayanan yang terbaik, saya sama sekali tidak menangkap unsur keterpaksaan dalam ramah dan antusiasme mereka, semuanya mengalir secara alami.
Mereka sudah memberikan jasa pelayanan lebih dari apa yang dibayarkan kepada mereka. Mereka tulus ikhlas dalam melayani kami dan tamu-tamu lainnya. Ketulusan dan keikhlasan ini menjadi semacam bahan bakar pelayanan mereka.
Memang tidak ada motivasi lain yang mampu menandingi ketulusan dan keikhlasan.
Bukankah seharusnya demikian pula di dalam dunia pelayanan gereja?
Kita melayani dengan ramah, antusias dan sigap meski pendapatan dari pelayanan tidak sebanding.
Lagipula tujuan pelayanan bukanlah uang melainkan kepuasan Boss kita yaitu Tuhan sendiri dan orang-orang yang kita layani.
Sehingga KPI (Key Performance Indicator) seorang pelayan Tuhan bukanlah kepuasan dan keuntungan diri sendiri melainkan kepuasan dan keuntungan Tuhan dan orang-orang yang kita layani.
Kita melakukan pelayanan lebih dari yang dibayarkan kepada kita. Bahkan di dunia sekulerpun hal ini berlaku.
Ketika tulus dan ikhlas dalam melayani menjadi motivasi diri maka pasti kita akan antusias dan sigap.
Pelayanan atau bahkan profesi akan menjadi sebuah pelayanan sejati dan dedikasi ketika kita mengesampingkan kepentingan dan keuntungan pribadi, demi kemudian mengedepankan sesama. JLI.
#KiraKiraBegitu
#LIFEWords (Leo Imannuel Faith Enlightening Words)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar