Kamis, 29 Februari 2024

BUNGKUS

BUNGKUS

By Leo Imannuel

Bungkus menurut KBBI mengandung arti bahan yang dipakai untuk membalut.

Jika ditanya apa yang dibungkus, maka KBBI memberikan arti kata penggolong untuk benda yang dibalut dengan kertas (daun, plastik dan sebagainya), pak.

Contohnya bisa nasi bungkus, 2 bungkus kacang rebus, dlsb.

Bungkus selalu lebih besar dari yang dibungkus.

Bungkus sebisa mungkin didesain sangat bagus dan menarik pandangan mata, yang menyiratkan bahwa isinya lebih enak secara rasa dan bagus secara kualitas.

Padahal belum tentu demikian.

Banyak orang tertipu dengan bungkusnya, padahal isinya zonk, demikian istilah zaman now.

Bisa juga bungkusnya biasa-biasa saja, namun isinya luar biasa enak atau bagusnya. 

Di sini kita tidak boleh asal percaya atau merendahkan sebuah produk atau seseorang sebagaimana maksud tulisan saya. 

Ada orang yang berbungkus atau membungkus diri dengan baik melalui reputasi jarak jauh, sebagaimana yang tersirat dari sosial medianya. 

Netizen komsumtif yang menafikan nalar menerima begitu saja karakter yang coba ditampilkan, tanpa perlu mengecek keadaan sebenarnya, padahal semuanya bisa dibuat. 

Itulah mengapa saya tuliskan reputasi jarak jauh, karena dari dekat baunya tidak seharum dari jauh. 

Sebaliknya ada orang yang tampil apa adanya, bahkan terkesan biasa-biasa saja, namun sebenarnya dia sangat berisi. 

Orang berisi, baik dia seorang bijak bestari, pintar, kaya Raya, atau berprestasi, sehingga tidak perlu membuktikan diri kepada siapapun juga. 

"Kupikir dia cupu, ternyata suhu!"

Demikian seruan Gen-Z yang terkecoh terhadap orang yang demikian. 

Adagium, don't judge the book by it's cover memperingati kita agar tidak terkecoh oleh tipuan seperti ini.

Agar dapat menampung dan menyembunyikan sama sekali, bungkus selalu lebih luas dan lebih besar dari isinya. 

Semakin besar isinya, semakin besar bungkusnya. 

Semakin berbau barangnya semakin erat dan ketat bungkusnya. 

Demikianlah bungkus kehidupan dia selalu lebih besar dan diusahakan lebih bagus dari isinya. 

Semakin besar bualan seseorang semakin besar bungkus reputasi yang coba dia bangun, padahal isinya zonk. 

Bungkus itu sebenarnya adalah kebohongan demi kebohongan, dusta demi dusta yang dia coba bangun demi menutupi kekurangan diri, atau demi menjual diri agar laku karena orang berpikir dia bagus, padahal hanya bungkusnya yang demikian. 

Kualitas bungkus tidak berbanding lurus dengan kualitas isi. 

Hidup demikian pasti melelahkan. 

Dia harus menjadi nomor satu atau paling tidak dikondisikan agar orang mengasumsikan dirinya sebagai nomor satu. 

Salah satu caranya pasti dengan mendiskreditkan orang lain yang dianggap sebagai saingan. 

Sampai di sini pasti Anda mengerti bahwa dia seorang megalomania yang merasa unsecure.

Padahal kejujuran dengan tampil apa adanya jauh lebih santai dan menyenangkan.

Kira-kira dua ribu tahun yang lalu Yakobus sudah mewanti-wanti kita di dalam 4:10 
"Rendahkanlah dirimu di hadapan Tuhan, dan Ia akan meninggikan kamu."

Ketika kita merendahkan diri kita di hadapan Tuhan, Dia yang akan mengangkat kita pada waktu-Nya, sesuai kehendak-Nya.

Merendahkan diri artinya seseorang terbuka di hadapan Tuhan dan mengakui semua kekurangan dan kelemahan diri, untuk kemudian meminta-Nya memulihkan diri dan menjadikan diri ini ciptaan baru.

Akan memakan waktu memang, namun jangan lupa tidak ada barang berkualitas dijadikan dalam waktu singkat.

Semua butuh proses panjang dan seringkali menyakitkan, tapi begitu jadi akan bersinar terang, tanpa perlu promosi melelahkan. JLI. 

#KiraKiraBegitu

#LIFEWords (Leo Imannuel Faith Enlightening Words) 

Minggu, 25 Februari 2024

SIAPAKAH YANG TERBESAR?

Pertanyaan siapakah yang paling besar dan paling hebat telah bergema sepanjang zaman.

Citius, Altius, Fortius yang digaungkan oleh Pierre de Coubertin, pendiri Komite Olimpiade Internasional (IOC), pada tahun 1894 yang kemudian menjadi motto olimpiade seolah menyimpulkan sejarah perlombaan ambisi manusia untuk menjadi yang tercepat, tertinggi dan terkuat.

Bertebaran dalam sejarah manusia tokoh-tokoh hebat dari mulai tirani penakluk, atlet hebat, penjelajah, ilmuwan, dan masih banyak yang lain dengan prestasi masing-masing meski beberapa dicapai dengan mengorbankan orang lain, sahabat bahkan keluarga.

Perlombaan untuk yang menjadi "paling" lebih nyata bahkan di hari-hari ini ketika kompetisi semakin terasa dan semakin mengglobal.

Hal sama juga terjadi di antara para murid Tuhan Yesus, ketika mereka meributkan siapakah yang akan menjadi yang terbesar di kerajaan sorga.

Keributan yang kemudian melibatkan orang tua Yakobus dan Yohanes khususnya sang Ibu yang secara khusus datang dan meminta kepada Tuhan Yesus agar keduanya duduk di tempat yang utama dalam Kerajaan Sorga yakni di sebelah kanan dan kiri Tuhan Yesus.

Jawaban Tuhan Yesus bukanlah agar kedua murid ini bekerja keras, terus belajar, terus mencoba, berpikir positif, pantang menyerah sebagaimana lazimnya nasihat para motivator, melainkan:

Matius 20:25-28
(25) Tetapi Yesus memanggil mereka lalu berkata: "Kamu tahu, bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. 
(26) Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu,
(27) dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu;
(28) sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang."

Cara dunia untuk menjadi yang paling adalah dengan mengintimidasi, memanipulasi dan mendominasi orang lain, namun ayat 26 dimulai dengan kalimat "Tidaklah demikian di antara kamu" artinya kita tidaklah demikian.

Kontra dengan cara-cara dunia, cara Tuhan adalah barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu.

Cara menjadi terbesar dengan menjadi yang paling hina, jalan  kehambaan.

Khususnya di dalam gereja jabatan gembala atau pemimpin apapun di dalam gereja tidaklah satu paket dengan penghormatan dan kasih dari jemaat bahkan sesama kolega.

Semua itu tidak bisa diminta bahkan dengan paksaan atau kekerasan sekalipun, termasuk dengan khotbah-khotbah manipulatif semacam "Pemimpin rohani harus ditaati dan dihormati", "Jangan menyentuh (mengkritik) orang yang diurapi", pesan-pesan semacam itulah.

Hanya orang terhormat, rendah hati, mengutamakan orang lainlah yang secara alami akan beroleh hormat dari orang lain.

Kasih dan penghormatan hanya dapat diberikan bukan diminta.

Dalam gereja pada umumnya dan khususnya Gereja Oikos Indonesia yang memiliki nilai Gereja adalah Keluarga, hubungan menjadi sebuah nilai hakiki.

Sebelum otoritas dijalankan, pengajaran disampaikan, disiplin ditegakkan, hubungan yang kuat perlu dibangun.

Di dalam hubungan yang penuh kasih, seorang pemimpin diharapkan tampil apa adanya, bukan ada apanya, tidak perlu pura-pura, merasa paling pintar apalagi paling hebat dan paling suci, paling tahu semua. 

Disinilah akuntabilitas seorang pemimpin terlihat dan unsur percaya (trust) di hati jemaat tercipta, barulah setelah itu fungsi kepemimpinan dapat berjalan.

Pada generasi milenial bahkan Gen Z kepemimpinan otoriter menjadi tidak laku, mereka lebih menghargai prinsip egaliaterisme, alias kesetaraan yang mengharapkan bahkan membuka kesempatan keterlibatan semua orang.

Jangan datang dengan pendekatan jabatan dan kekuasaan, tidak akan laku, jangan berharap di dengarkan apalagi ditaati. 

Singkatnya, sebelum menjadi pemimpin, jadilah pelayan. JLI.

#KiraKiraBegitu

#LIFEWords (Leo Imannuel Faith Enlightening Words) 

Jumat, 23 Februari 2024

BERSEMBUNYILAH DI DALAM TERANG JANGAN DI DALAM GELAP

Kegelapan biasanya menjadi tempat persembunyian. 

Karena diharapkan di dalam gelap orang tidak melihat aib bahkan kebusukan yang coba ditutupi, bahkan secara naif juga berharap diri sendiri tidak dapat melihatnya lagi dan dapat melupakannya, bak barang bekas yang dapat dibuang begitu saja. 

Padahal di dalam gelap tidak ada sukacita, yang ada hanya ketakutan dan kecurigaan terhadap segala sesuatu bahkan orang-orang terdekat, sehingga menyebabkan hilangnya damai sejahtera yang menjadi dalang ketidaktenangan hidup. 

Untuk terus bersembunyi di dalam gelap seseorang harus selalu memberi alasan, penyangkalan, berbohong, bahkan amarah sebagai senjata terhadap segala sesuatu yang dicurigai hendak mengeluarkannya dari tempat persembunyian tersebut. 

Padahal tempat persembunyian terbaik ada di dalam terang.

Raja Daud dalam Mazmur 27:1 menegaskan bahwa
"Tuhan adalah terangku dan keselamatanku, kepada siapakah aku harus takut? Tuhan adalah benteng hidupku, terhadap siapakah aku harus gemetar?" 

Ketika kita menjadikan terang sebagai tempat perlindungan itu sama saja dengan menjadikan Tuhan sebagai tempat perlindungan. 

Kembar dengan itu kita memercayakan semua aib dan kebusukan ke dalam tangan Tuhan, tujuannya tentu penebusan dan pemulihan diri

Lebih lanjut Daud menuliskan di dalam ‭‭Mazmur 36:10
"Sebab pada-Mu ada sumber hayat, di dalam terang-Mu kami melihat terang." 

Di dalam Tuhan yang adalah terang ada kehidupan dan karena terang Tuhan itu kita dapat melihat terang. 

Terang sejati atau bisa diartikan sebagai hikmat, pengertian, atau kesimpulan yang diambil atas sesuatu yang terjadi yang kemudian melahirkan sebuah tindakan hanya di dapat melalui terang Tuhan, bukan dari pengertian manusiawi yang sering bias kepada emosi sesaat sehingga gagal melihat secara komprehensif. 

Hasilnya tentu berbagai hal yang kontraproduktif, seperti ya itu bersembunyi di dalam gelap, marah, manipulatif, berbohong, memberi banyak alasan, dll. 

Rasul Yohanes sudah mewanti-wanti kita di dalam ‭‭1 Yohanes 1:5, bahwa

"..... Allah adalah terang dan di dalam Dia sama sekali tidak ada kegelapan."

Semakin terjebak di dalam gelap, seseorang semakin menjauh dari Tuhan, dan semakin jauhlah dia dari penebusan dan pemulihan diri.

Benarlah ujar-ujar ini, keterbukaan adalah awal dari pemulihan.

Namun, kemudian terbuka sama siapa? Kapan? Tujuannya apa?

Maka sangat penting memiliki komunitas rohani yang saling mendukung ke arah kesempurnaan Kristus sehingga keterbukaan kita tidak menjadi cibiran dan kemudian konsumsi publik, yang juga tidak menjadi sarana mengasihani diri sendiri dan berharap orang menjadi jatuh kasihan. JLI

#KiraKiraBegitu 

#LIFEWords (Leo Imannuel Faith Enlightening Words)