Menurut KBBI standar adalah ukuran tertentu yang dipakai sebagai patokan.
Dalam konteks tulisan saya di bawah ini standar berarti sebuah patokan yang digunakan seseorang untuk mengukur segala sesuatu, yang darinya kemudian akan mempengaruhi bagaimana dia melihat, menilai dan berperilaku.
Dalam dua tulisan terdahulu yang dapat dilihat di http://lifewordsid.blogspot.com/2021/05/bergembiralah-karena-tuhan.html
dan
http://lifewordsid.blogspot.com/2021/05/orang-benar-vs-orang-fasik.html
Saya mengulik Mazmur 37 dan 73, kali inipun saya mencoba melihat kedua pasal ini.
Mazmur 37 ditulis oleh Raja Daud, sementara Mazmur 73 ditulis oleh Asaf. Kedua pasal ini memiliki kemiripan yang unik, kedua penulis sama-sama membahas tema yang sama, kemarahan melihat orang fasik sepertinya lebih diberkati.
Ayo kita mulai,
Mazmur 37:8
"Berhentilah marah dan tinggalkanlah panas hati itu, jangan marah, itu hanya membawa kepada kejahatan."
Mengapa Daud memberi nasihat demikian?
Jika kita rangkai dengan Mazmur 73:3, kita akan mengetahui sebabnya,
"Sebab aku cemburu kepada pembual-pembual, kalau aku melihat kemujuran orang-orang fasik."
Ayat 4 sampai 10 menceritakan dumelan Asaf melihat orang fasik lebih diberkati daripada dirinya, Singkatnya di ayat 12,
"Sesungguhnya, itulah orang-orang fasik: mereka menambah harta benda dan senang selamanya!"
Saking jengkelnya Asaf sampai menyesali imannya dan menuliskan,
"Sia-sia sama sekali aku mempertahankan hati yang bersih, dan membasuh tanganku, tanda tak bersalah. Namun sepanjang hari aku kena tulah, dan kena hukum setiap pagi." Mazmur 73:13-14.
Pertanyaannya, mengapa Asaf sampai jengkel setengah mati seperti itu?
Apa hubungannya dengan Tuhan, atau keimanan dirinya?
Sebenarnya Asaf itu sedang marah terhadap siapa?
Apa hubungannya dengan standar, seperti awal tulisan ini?
Begini, Asaf adalah perwakilan orang-orang benar atau orang-orang percaya seperti kita.
Hidup benar, menaati hukum-hukum Tuhan, sehingga berperilaku dalam kebenaran.
Tentunya sambil mengingat janji-janji Tuhan akan berkat dan penyertaan Tuhan bagi orang-orang yang berperilaku benar dan hukuman bagi orang fasik.
Itulah mengapa Asaf dan setiap kita memilih ikut Tuhan, agar berperilaku benar, sehingga menerima berkat dan bukan kutuk sebagaimana yang diperuntukkan bagi orang fasik.
Namun, pada kenyataannya Asaf melihat justru orang-orang fasik sepertinya diberkati, lebih kaya dan karenanya lebih berbahagia.
Dia mengontraskan keadaan orang fasik dengan keadaan dirinya, seperti yang ditulisnya di ayat 14.
Sekarang baginya melakukan hukum-hukum Tuhan menjadi beban dan bukan lagi kesukaan seperti dahulu.
Mengapa bisa demikian?
Sederhana, karena standar ukurannya sudah mulai bergeser.
Ukuran sukses dan berbahagia bukan lagi Tuhan dan firman-Nya, melainkan standar dunia.
Apa yang Asaf lihat pada orang fasik merupakan standar sukses dan kebahagiaan secara daging, dan bukan secara rohani.
Di sini kita mendapati standar rohani dan standar daging.
Asaf mengalami degradasi rohani sampai-sampai menyesali ketaatannya terhadap hukum-hukum Tuhan.
Tidakkah juga saat ini kita mendapati orang-orang jahat sepertinya semakin diberkati, bangga dengan kejahatannya, namun semakin banyak uang?
Apakah Anda pernah merasa seperti Asaf? Mempertanyakan Tuhan, dan mulai membandingkan diri dengan orang-orang fasik?
Pada titik ini memang tidak mudah untuk kembali, hati sudah penuh kecurigaan terhadap Tuhan, jiwa sudah dipenuhi oleh keinginan untuk memiliki kualitas hidup lebih baik seperti tetangga sebelah, sebagaimana yang dikeluhkannya di ayat 16,
"Tetapi ketika aku bermaksud untuk mengetahuinya, hal itu menjadi kesulitan di mataku."
Sampai akhirnya, Asaf melakukan sebuah tindakan radikal sebagaimana yang dia catat di ayat 17,
"sampai aku masuk ke dalam tempat kudus Allah, dan memperhatikan kesudahan mereka."
Ini adalah titik tolak pertobatan Asaf.
Dia kembali kepada standar Tuhan, dan mengukur kehidupan orang fasik dengan standar tersebut dan mendapati bahwa semua kesuksesan dan kebahagiaan mereka adalah semu dan berujung kepada maut.
Jika, Mazmur 73 adalah kisah pergulatan iman Asaf, kita mengetahui pergumulannya menghadapi kehidupan, maka di Mazmur 37 kita tidak mendapati kisah pergumulan Daud.
Mazmur 37 memulainya langsung to the poin,
(1) Dari Daud. Jangan marah karena orang yang berbuat jahat, jangan iri hati kepada orang yang berbuat curang;
(2) sebab mereka segera lisut seperti rumput dan layu seperti tumbuh-tumbuhan hijau.
Jangan marah, karena....
Kesimpulannya sama seperti Asaf, akhir hidup orang fasik itu akan hancur.
Lebih jauh Daud menuliskan
(13) Tuhan menertawakan orang fasik itu, sebab Ia melihat bahwa harinya sudah dekat.
(20) Sesungguhnya, orang-orang fasik akan binasa; musuh TUHAN seperti keindahan padang rumput: mereka habis lenyap, habis lenyap bagaikan asap.
Di sini sebenarnya Daud sedang mengagkat standar rohani sebagai alat ukurnya dalam mengukur segala hal.
Senada dengan Daud, demikian juga Asaf mendeskripsikan akhir dari orang fasik
Mazmur 73:18-20
(18) Sesungguhnya di tempat-tempat licin Kautaruh mereka, Kaujatuhkan mereka sehingga hancur.
(19) Betapa binasa mereka dalam sekejap mata, lenyap, habis oleh karena kedahsyatan!
(20) Seperti mimpi pada waktu terbangun, ya Tuhan, pada waktu terjaga, rupa mereka Kaupandang hina.
Dengan demikian Asaf juga mulai kembali melihat orang fasik dengan standar Tuhan.
Selanjutnya, Daud memberikan pernyataan tegas yang langsung membedakan antara ikut standar Tuhan atau standar orang fasik,
Mazmur 37:22-24
(22) Sesungguhnya, orang-orang yang diberkati-Nya akan mewarisi negeri, tetapi orang-orang yang dikutuki-Nya akan dilenyapkan.
(23) TUHAN menetapkan langkah-langkah orang yang hidupnya berkenan kepada-Nya;
(24) apabila ia jatuh, tidaklah sampai tergeletak, sebab TUHAN menopang tangannya.
Pada akhirnya, Asaf kembali kepada standar Tuhan, dan menemukan pencerahan bathin yang luar biasa ketika Dia menulis
Mazmur 73:25-26
(25) Siapa gerangan ada padaku di sorga selain Engkau? Selain Engkau tidak ada yang kuingini di bumi.
(26) Sekalipun dagingku dan hatiku habis lenyap, gunung batuku dan bagianku tetaplah Allah selama-lamanya.
Dia kembali melihat hidupnya dari sudut pandang Tuhan, dia kembali berserah kepada Tuhan, dan kembali menjadikan Tuhan milik pusakanya di bumi dan di sorga, meskipun kerugian dan kesusahan karena memilih Tuhan itu menjadi bagiannya.
Semoga kita juga dapat kembali melihat nasib akhir orang fasik sebagaimana Asaf dan Daud melihatnya.
Tetap jadikan Tuhan dan kebenaran-Nya sebagai standar kita mengukur segala sesuatu.
#LIFEWords (Leo Imannuel Faith Enlightening Words)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar