Jumat, 05 November 2021

BU PUN SU

Selama membaca beberapa buku cerita silat karangan Asmaraman Sukowati Kho Ping Ho, saya menemukan beberapa pendekar rekaan beliau yang bisa dikatakan sebagai pendekar di atas segala pendekar, karena tingkat kesaktiannya yang tiada tara.

Salah satunya adalah Lu Kwan Cu.

Tidak ada yang tahu nama aslinya, dua orang kakek menemukannya sedang mengapung di tengah gelombang laut, pingsan, dan amnesia.

Salah seorang kakek yang merupakan saudara dari seorang menteri negara memberi marga Lu seperti marganya sendiri, kakek satunya yang bermuka merah merupakan tokoh kangaw (dunia persilatan) memberi nama Kwan Cu kepadanya, jadilah namanya Lu Kwan Cu.

Lu Kwan Cu kemudian menjadi pendekar sakti mandraguna karena menemukan dan mempelajari kitab sakti bernama Im Yang Butek Cin Keng, sebuah kitab yang berisi ilmu pengobatan, ilmu perang dan intisari ilmu kung-fu dari seluruh dunia.

Diceritakan lawannya baru sekali bergerak saja dia sudah tahu akan kemana jurus terarah, sehingga dapat dipatahkannya, hal itu membuatnya tidak pernah terkalahkan. 

Sang pendekar memberi gelar kepada dirinya sendiri Bu Pun Su, alias tidak berkepandaian, sangat kontras dengan kenyataan bahwa dia adalah manusia paling sakti. 

Bagi orang-orang sakti yang bukan saja dalam ilmu silatnya, namun juga dalam batiniahnya, nama menjadi tidak penting, terkenal menjadi seperti sebuah ilusi.

Apalah arti sebuah nama demikian menurut William Shakespeare, bukankah bunga mawar akan tetap berwarna merah dan berbau harum, apapun kita menyebutnya?

Demikianlah kira-kira filosofi yang coba ditampilkan oleh Kho Ping Ho.

Bahkan murid dari Bu Pun Su Lu Kwan Cu, Sie Cin Hai, bergelar Pendekar Bodoh, meski diapun sakti mandraguna seperti gurunya. 

Dalam salah satu cerita lainnya, seorang pendekar muda nan sakti bernama Sia Han Lin, memiliki guru sakti yang dia tidak tahu siapa namanya, Han Lin hanya memanggilnya dengan sebutan Lojin atau orang tua.

Bercermin ke dalam gereja, banyak sekali orang-orang yang tergila-gila dengan gelar.

Namanya mengekor kepada gelar seperti Dr. Ps. Pdt. Rev. bahkan Prophet, Apostle dan setelah namanya digandeng dengan berbagai macam gelar yang tidak kalah menterengnya seperti D.Th, Th.D, Ph.D, M.Th, S.Th dan berbagai gelar akademisi lainnya.

Apalah arti sebuah gelar jika kosong melompong, dan digunakan hanya untuk gagah-gagahan semata dan diperoleh dengan cara tidak halal, seperti membeli gelar tanpa kuliah formal misalnya.

Apalagi berbagai gelar yang kelihatannya rohani sekaligus angker seperti nabi, dan disertai oleh pemahaman yang dengan sengaja dan terencana diajarkan, seperti

"Jangan mengganggu orang yang diurap."

"Gembala kita adalah orang yang diurapi Tuhan."

"Pemimpin kita orang yang intim dengan Tuhan, Tuhan banyak memberi pewahyuan kepadanya."

Di balik berbagai kalimat tersebut tersembunyi sebuah pesan, bahwa para pemimpin adalah orang spealsial, sehingga tidak boleh mengkritisi, terima saja apapun keputusan dan ajaran mereka, dan memaklumi kesalahan mereka.

Sebuah bentuk megalomania yang bersembunyi di dalam jiwa  manusia sejak Taman Eden, "kamu akan menjadi seperti Allah."

Termasuk berbagai gelar yang lebih umum digunakan seperti "mentor" dan "bapa rohani" yang disalahgunakan seolah seseorang yang bergelar demikian memiliki hak otoritatif untuk memanfaatkan orang-orang tulus sebagai mentee atau anak rohani untuk kepentingan mereka.

Memang pemakaian gelar akademisi dan organisasi tidak bisa dihindari, sebagai bentuk pertanggungjawaban identitas.

Seperti siapa yang mengajar ini? Apakah beliau memiliki kemampuan akademisi atau kepakaran untuk mengajarkannya?

Namun, tentunya gelar akademisi  dari pendidikan formal yang layak dan sah, bukan sim salabim bayar lalu dapat gelar.

Itu semua lahir dari insecure mentality, yang menandakan kedangkalan bathin. 

Lebih baik menjadi diri sendiri apa adanya, namun bernas dalam pesan, efektif dalam pelayanan, berpengaruh positif dalam kehidupan.

#KiraKiraBegitu
#LIFEWords (Leo Imannuel Faith Enlightening Words) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar