Mazmur 37 dimulai dengan sebuah peringatan oleh Raja Daud
“Jangan marah karena orang yang berbuat jahat, jangan iri hati kepada orang yang berbuat curang;”
Mengapa bisa marah atau iri hati?
Karena standar kita akan keberhasilan, kesuksesan (dan karenanya) kebahagiaan sudah bergeser, akibatnya kita melihat orang-orang jahat tersebut bisa hidup lebih enak (daripada kita).
Mazmur 73 menyimpulkannya dengan baik,
2. Tetapi aku, sedikit lagi maka kakiku terpeleset, nyaris aku tergelincir.
3. Sebab aku cemburu kepada pembual-pembual, kalau aku melihat kemujuran orang-orang fasik.
4. Sebab kesakitan tidak ada pada mereka, sehat dan gemuk tubuh mereka;
5. mereka tidak mengalami kesusahan manusia, dan mereka tidak kena tulah seperti orang lain.
Asaf, sebagai Pemazmur bertanya-tanya mengapa orang-orang jahat (orang fasik) bisa hidup di dalam kesenangan dan kesuksesan dibandingkan dengan mereka yang hidup di dalam kebenaran?
Di ayat-ayat selanjutnya, Asaf semakin menunjukkan keheranan dan iri hatinya, bahkan mempertanyakan keadilan Allah.
Lalu mulai meragukan perjuangannya hidup di dalam kekudusan,
Adakah gunanya?
Adakah faedahnya?
Mengapa orang fasik menjadi lebih sukses bahkan ketika mereka terang-terangan menantang Tuhan, sementara orang-orang benar seperti dirinya malah sepertinya bertambah kemalangan, bahkan sebagian ditindas oleh orang fasik?
11. Dan mereka berkata: "Bagaimana Allah tahu hal itu, adakah pengetahuan pada Yang Mahatinggi?"
12. Sesungguhnya, itulah orang-orang fasik: mereka menambah harta benda dan senang selamanya!
13. Sia-sia sama sekali aku mempertahankan hati yang bersih, dan membasuh tanganku, tanda tak bersalah.
14. Namun sepanjang hari aku kena tulah, dan kena hukum setiap pagi.
Kita hidup di dunia yang sudah terkorup oleh dosa, sistem dunia seringkali tidak adil kepada mereka yang berusaha untuk hidup di dalam kebenaran. Hukum diperjualbelikan, yang benar bisa menjadi salah, kemudian menempatkan yang salah menjadi benar.
Suara mayoritas menjadi seperti suara Tuhan, meski salah, dan lagi-lagi menempatkan minoritas sebagai pihak yang selalu dikalahkan, meski benar.
Dalam dunia marketplace kalimat ‘yang rajin kalah sama mereka yang pandai menjilat’ sudah menjadi sebuah satire yang berlaku secara umum. Itupun sebuah bentuk ketidaadilan.
Kecewa?
Geram?
Marah?
Mempertanyakan Tuhan, Dia ada di mana?
Tidakkah Ia bertindak dan menghukum mereka yang berbuat kefasikan semacam ini?
Mengapa malah tampaknya Tuhan tidak perduli sama sekali.
Jikalau demikian, lalu mengapa menyusahkan diri menjaga kekudusan?
Sementara melihat orang fasik tampaknya lebih sukses dan berbahagia.
Akhirnya, Sebagian ikut arus dan berperilaku seperti orang fasik sambil mencari berbagai pembenaran atas penyimpangan diri tersebut.
Kembali ke Mazmur 37, Daud, mengawali Mazmurnya dengan sebuah peringatan,
1. Dari Daud. Jangan marah karena orang yang berbuat jahat, jangan iri hati kepada orang yang berbuat curang;
Jangan marah, mengapa? Ayat dua melanjutkannya dengan sebuah kebenaran,
2. sebab mereka segera lisut seperti rumput dan layu seperti tumbuh-tumbuhan hijau.
Orang fasik tidak akan lama, kebrruntungan mereka tidak akan abadi, Gusti Ora Sare begitu kata orang, ada waktunya keadilan Tuhan akan ditegakkan.
Kemudian, Daud melanjutkannya dengan sebuah perintah atau nasihat,
3. Percayalah kepada TUHAN dan lakukanlah yang baik, diamlah di negeri dan berlakulah setia,
Jadi, tetaplah percaya kepada Tuhan, lakukanlah dengan setia nilai-nilai luhur yang Alkitab ajaran kepada kita.
4. dan bergembiralah karena TUHAN; maka Ia akan memberikan kepadamu apa yang diinginkan hatimu.
Banyak Alkitab berbahasa Inggris seperti NIV, NKJV, AMP, NLT dan masih banyak yang lain menerjemahkan kata “bergembiralah” pada ayat di atas dengan kata ‘delight.’ Menurut Webster Dictionary, kata itu bermakna ‘a high degree of gratification or pleasure’ (tingkat kepuasan atau kesenangan yang tinggi).
Kata ini diterjemahkan dari kata Ibrani ʿānaḡ yang berarti lentur atau lembut (tidak keras, sehingga dapat dibentuk – oleh Tuhan), juga bisa berarti menyenangkan.
Jadi ayat ini dapat diartikan bahwa tingkat kepuasan atau sukacita tertinggi kita haruslah Tuhan, dan bukan yang lain. Jangan bergeser hanya karena melihat sepertinya orang fasik itu selalu beruntung dan sukses.
Standar sukses dan (oleh karenanya) kebahagiaan haruslah Tuhan atau di dalam Tuhan, menaati Tuhan dan hukum-hukum-Nya wajib tetap mejadi kesukaan kita.
Hitungan untung rugi bukan menurut standar dunia, melainkan standar Tuhan. Paulus menuliskan prinsip ini dengan gamblang di Filipi 3:7,
“Tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus.”
Bagaimana kita bisa merubah pola pikir untung rugi ini lalu mengikuti standar Tuhan? Asaf sebagai seseorang yang juga sempat mempertanyakan Tuhan mengenai hal ini, akhirnya menuliskan di dalam Mazmur 73,
17. sampai aku masuk ke dalam tempat kudus Allah, dan memperhatikan kesudahan mereka.
Sampai akhirnya Asaf Kembali melihat mereka dari sudut pandang Tuhan, dari kaca mata kekekalan, dia bisa memahami bahwa pilihan hidup benar adalah sebuah pilihan paling tepat.
18. Sesungguhnya di tempat-tempat licin Kau taruh mereka, Kau jatuhkan mereka sehingga hancur.
19. Betapa binasa mereka dalam sekejap mata, lenyap, habis oleh karena kedahsyatan!
20. Seperti mimpi pada waktu terbangun, ya Tuhan, pada waktu terjaga, rupa mereka Kaupandang hina.
Setelah membaca ayat-ayat di atas, apakah sekarang kita merasa iri hati melihat keuntungan dan kesuksesan orang fasik?
Milikilah pikiran Kristus sehingga kita bisa melihat bahwa semua pencapaian orang fasik adalah semu, semuanya membawa mereka kepada maut, sebagaimana yang juga disimpulkan oleh daud di dalam ayat ke 20
“Sesungguhnya, orang-orang fasik akan binasa; musuh TUHAN seperti keindahan padang rumput: mereka habis lenyap, habis lenyap bagaikan asap.”
Tuhan akan menjadi kesukaan jika kita menyadari bahwa pengejaran utama seorang manusia bukanlah hal-hal yang bersifat duniawi, melainkan hal-hal yang kekal.
Inilah kesimpulan Asaf,
25. Siapa gerangan ada padaku di sorga selain Engkau? Selain Engkau tidak ada yang kuingini di bumi.
26. Sekalipun dagingku dan hatiku habis lenyap, gunung batuku dan bagianku tetaplah Allah selama-lamanya
Setelah melewati sebuah pergumulan bathin pada akhirnya Asaf kembali memilih Tuhan.
Dia berkata bahwa di bumi ini hanya Tuhanlah yang menjadi miliknya. B
enarkah demikian?
Tidakkah Asaf juga memiliki kabing domba, ladang dan rumah tangga?
Tentu dia punya, namun kali ini kemelekatan hatinya bukan kepada harta benda, melainkan Tuhan. Setelah menyadari akhir hidup orang fasik,
Asaf Kembali kepada standar Tuhan. Bahkan dia mengatakan bahwa seandainya semua habis (ingat kisah Ayub), dia tetep keukeuh memilih Tuhan.
Nah, nah, saya tidak mengatakan bahwa hal-hal duniawi seperti uang itu tidak penting, selama kita hidup di dalam dunia uang, jabatan, koneksi itu penting, bahkan harus diusahakan oleh setiap anak-anak Tuhan, fokus tulisan kali ini adalah standar sukses dan kebahagiaan itu apa atau siapa, tentu kita harus tetap di dalam Tuhan.
#KiraKiraBegitu
#LIFEWords (Leo Imannuel Faith Enlightening Words)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar