Kamis, 30 Desember 2021

FOKUS SALAH DALAM PEMURIDAN

Gereja dan program pemuridan sesungguhnya telah salah arah jika hanya fokus  membuat orang jahat menjadi baik, pemarah menjadi penyabar, dan lain sebagainya. 

Itu semua dilakukan oleh para moralis, dan hanya menyentuh permukaan saja.

Kekristenan menyentuh lebih dalam daripada itu.

Semua kebobrokan moral manusia yang terlihat dari perilakunya hanyalah manifestasi dari sesuatu yang lebih dalam.

Kekristenan mengurusi sumber masalah tersebut.

Kebobrokan moral tidak dapat diperbaiki, atau dipoles.

Itu hanya solusi sementara dan tidak mengatasi masalah sesungguhnya.

Kristus memberikan solusi terhadap masalah ini, Dia menyebutnya sebagai lahir baru. 

Tanpa kelahiran baru seseorang tidak akan pernah bisa benar-benar berubah. 

Seseorang tidak akan pernah bisa mengalami kelahiran baru tanpa Roh Kudus.

Setelah seseorang mengalami kelahiran baru, maka buah-buah kehidupan dengan sendirinya akan muncul. 

Kelahiran baru bukanlah event sekali jadi, namun sebuah perjalanan seumur hidup, oleh karenanya seseorang perlu didampingi oleh seorang mentor atau partner sama-sama mengejar passion yang sana.

Inilah pemuridan. 

Jadi, alih-alih fokus membuat orang jahat menjadi baik, sebaiknya guru-guru kehidupan fokus kepada karya Roh Kudus yang membawa seseorang kepada proses kelahiran baru, lalu saling mendukung supaya tetap setia dan gigih di dalam proses tersebut. 

#KiraKiraBegitu 

#LIFEWords (Leo Imannuel Faith Enlightening Words)
#RISEandSHINE
#LeoImannuel

Senin, 27 Desember 2021

AGAMA SAYA YANG PALING BENAR!

Agama Siapa Yang Paling Benar?

Sebagai seorang kristiani jawaban saya pasti: "Agama Saya!"

Teman baik saya seorang muslim taat, pasti akan menjawab: "Agama Saya!"

Kenalan saya seorang Hindu Bali, pasti akan menjawab: "Agama Saya!"

Famili saya yang Budha akan menjawab: "Agama Saya"

Jawaban "Agama Saya!" untuk pertanyan di atas bukanlah dimaksud untuk meremehkan agama lain, hanya sebuah jawaban logis dari sebuah pilihan.

Jawaban tersebut bisa datang dengan berbagai variasi kata, namun singkatnya: "Agama Saya yg paling benar!"

Buktinya saya tetap Kristen, sahabat saya tetap seorang Islam taat, kenalan saya tetap Hindu dan famili saya kekeuh Budha.

Jadi, agama siapa yg paling benar? Pertanyaan ini jangan diajukan kepada orang beragama, karena jawabannya sudah pasti: "Agama Saya!"

Pertanyaan ini seharusnya di jawab oleh orang di luar agama, atau yg ada di dalam agama namun masih gamang dan mempertanyakan kebenaran segalanya.

Apa yg mereka rasa dan lihat dari agama-agama akan menentukan jawaban mereka, agama siapa yg paling benar.

Kebenaran dan nilai-nilai universal seperti kebaikan, kesopanan, toleransi, keluhuran, empati, kemanusiaan, akan menjadi parameter agama mana yg benar.

Teror, diskriminatif, keganasan, gagah-gagahan, show off kekuatan/massa, akan mendapat stigma negatif.

Melaluinya mereka sebenarnya sedang membusukan dan merusak agama dari dalam.

#CatatanAkhirTahun

Minggu, 26 Desember 2021

HANYUT DALAM PENYEMBAHAN

Hari ini dalam ibadah saya sangat diberkati.

Sudah sejak lama sejak terakhir saya melihat air mata mengalir dari seseorang ketika sedang memimpin pujian dan penyembahan.

Beliau bukanlah seorang WL top dengan album rohani, bukan pula dari salah satu mega church dengan sound system ciamik, hanya jemaat biasa yang melayani di sebuah gereja kecil.

Namun, saya tersentuh dengan kesungguhannya menikmati hadirat Tuhan ketika menyembah.

Langsung saya bertobat, sejak kapan terakhir saya benar-benar menikmati Tuhan dan hadirat-Nya?

Kapan saya benar-benar tenggelam dalam penyembahan sampai lupa waktu?

Seharusnya seseorang tenggelam dalam hadirat Tuhan, seperti frozen in time, waktu seolah berhenti, alias tidak perduli akan kemana setelah ibadah, atau akan apa yang akan dilakukan nanti, hanya menikmati maksimal hadirat-Nya dalam penyembahan.

Kapan terakhir kali Anda seperti itu?

Ataukah waktu pujian dan penyembahan hanya menjadi liturgi yang bersifat rutinitas belaka.

Sadarkah jikalau Anda hanya menikmati musik dan lagu, tapi bukan pribadi Tuhan yang mana lagu dan musik tersebut ditujukan.

#LIFEWords (Leo Imannuel Faith Enlightening Words) 

JANGAN LELAH MENABUR BENIH

Hari itu liturgi ibadah sampai kepada doa pengakuan dosa, seseorang didaulat maju ke depan untuk memimpin doa tersebut.

Saya kaget karena si Bapak maju dan dengan lancar memimpin doa. 

Saya kenal si Bapak sudah bertahun-tahun, sehingga menjadi sebuah kejutan membahagiakan bagi saya melihat beliau "berani" memimpin doa tersebut.

Jadi teringat tahun-tahun sebelumnya di mana kami banyak ngobrol tentang iman dan kehidupan.

Saya terharu dan berbahagia melihat sedikit benih yang saya taburkan telah bersemai di dalam hidupnya.

Minggu pagi itu Tuhan mencelikkan mata saya untuk melihat dan belajar jangan pernah lelah menaburkan benih-benih firman, akan ada waktunya dia akan bersemai, ada saatnya Roh Kudus menumbuhkannya menjadi pohon kehidupan di dalam diri seseorang.

Perlu diingat bukan hanya saya yang menabur benih, ada banyak orang terutama keluarganya. 

Tuhan baik. 

#LIFEWords (Leo Imannuel Faith Enlightening Words)

ATEIS PRAKTIS

Bukan orang beragama yang intoleran atas nama suprimitas kepercayaannya.

Bukan orang beragama yang melakukan berbagai kejahatan dan mencari pembenarannya atas nama kitab suci dan Tuhan.

Bukan orang beragama yang membunuh atas nama Tuhan.

Melainkan para atheis praktislah yang melakukannya.

Atheis praktis berbungkus agama.

Mereka bukan cuma atheis, mereka lebih berbahaya dan bebal dibandingkan atheis.

Atheis tidak beragama dan tidak percaya Tuhan.

Mereka beragama dan percaya Tuhan, namun tidak takut dengan-Nya, olehnya mereka menjadi atheis praktis, entah sadar atau tidak, mereka melakukan perlawanan aktif terhadap Tuhan dan ajaran-Nya.

Karena jika mereka beragama dan percaya kepada-Nya, maka mereka akan menyadari bahwa Tuhan itu Maha Pengasih.

Memberi pipi kiri, jika yang kanan di tampar. Memberi jubah, jika baju diminta.
Berjalan lebih jauh dari yang dituntut.

Jika mereka beragama dan percaya kepada Tuhan, mereka akan menyadari bahwa superioritas agama tidak ditunjukan dengan kekerasan, melainkan dengan kasih, bukan keutamaan diri meski mayoritas, tapi mengutamakan yang lain meski minoritas.

Jika mereka beragama dan percaya Tuhan, mereka akan tahu bahwa keagungan agama tidak dipertontonkan melalui pedang, peluru, bom, dan berbagai peraturan diskriminatif.

Mereka akan menunjukkan keagungan agama dengan memberi makan yang lapar, memberi minum yang haus, mengunjungi janda-janda dalam kesusahan mereka, mengunjungi mereka yang di dalam penjara, memberi pakaian kepada yang tak berpakaian.

Mereka yang beragama dan percaya Tuhan, pasti tahu dan sadar bahwa Tuhan itu Maha Besar sehingga tidak perlu dibela. 

Siapakah kita hendak membela Tuhan? Bukankah jika kita melakukannya, maka itu sebuah bentuk penghinaan kepada-Nya? Kita merendahkan-Nya dengan menganggap-Nya lemah.

Jika agama kita dari Tuhan, biarlah Dia sendiri yang membela agama yang didirikan-Nya.

Melihat kelakuan orang beragama hari-hari ini, tidak heran banyak orang memilih untuk tidak mengidentifikasikan dirinya dengan agama apapun.

Tunggu dulu, jangan cap mereka kafir, mereka percaya Tuhan, hanya tidak melalui cara agama.

Mereka muak terhadap kemunafikan orang beragama.

Mereka melihat orang beragama lengkap dengan atributnya, dengan perasaan cemas, bahkan takut, dan marah.

Mereka marah karena agama dipakai menjadi alat untuk mencari uang, ketenaran diri, dan untuk melanggengkan kekuasaan, dengan menghalalkan berbagai cara.

Seperti seorang bijaksana berkata: "Saya suka Yesus, tapi tidak orang Kristen!" (Ganti kata Yesus dengan nama nabimu yang kau ikuti ajarannya dan kata kristen dengan agama yang kau anut).

Ayo, kita kembalikan keagungan agama melalui jalan kasih, memberi dan bukan menuntut.

Ayo kita singkirkan manusia-manusia keji, para atheis praktis yang telah mengotori dan membusukan agama dengan kerakusan mereka.

Agama itu sesuatu yang mulia....
Tunjukkan kemuliaannya dengan kemanusiaan...

Salam Damai

#EdisiAkhirTahun

Senin, 20 Desember 2021

MENGEJAR MIMPI

Apakah yang paling penting di dalam hidup ini adalah mengejar mimpi?

Menurut para motivator ya demikian.

Tanpa mimpi lalu bagaimana seseorang mengarahkan jejak langkah kehidupannya?

Hmm... Saya setuju.

Namun, apakah itu yang paling penting?

Jika ya, lalu seseorang demi mengejar mimpi mengorbankan orang lain.

Bisakah demikian?

Sudah berapa orang, baik rival maupun orang-orang yang dikasihi atau berapa banyak hal-hal berharga yang seseorang korbankan demi mengejar mimpi?

Ternyata mimpi pribadi bukanlah segalanya.

Begini, menurut saya perjalanan mengejar mimpi pribadi sebenarnya adalah perjalanan untuk mengenal diri sendiri, panggilan Tuhan atas diri  dan kemudian memutuskan mana yang penting, mana yang mesti dilepaskan dan mana yang mesti dikejar dan alasan-alasan dibaliknya.

Nah, menemukan alasan-alasan tersebut menjadi pertanda kedewasaan seseorang dan awal perubahan dari seorang egois menjadi seseorang yang berjuang bukan bagi dirinya sendiri saja.

Seringkali setelah sampai pada titik ini seseorang menemukan bahwa dia perlu merubah mimpinya, atau paling tidak merubah alasannya mengejar mimpinya.

Seorang bijak dan pejuang kehidupan sejati akan bertransformasi dari mengejar mimpi-mimpi egois menjadi seorang yang melayani Tuhan dan sesama melalui mimpinya.

Itulah kenapa Tuhan Yesus mengajar kita di dalam Matius 6:33 untuk terlebih dahulu mencari "...... Kerajaan Allah dan kebenarannya......." 

Maksudnya seseorang mesti mencari kehendak Allah atas semua yang dikerjakannya. 

Ini artinya seseorang wajib menemukan alasan-alasan ilahi kenapa dia melakukan apa yang dilakukannya. 

Mark Twain pernah berkata dua hari yang paling penting di dalam hidup Anda adalah hari ketika Anda dilahirkan dan hari di mana Anda mengetahui mengapa Anda dilahirkan.

Perjalanan untuk menemukan alasan kenapa Anda dilahirkan adalah sebuah perjalanan mengenal diri,  mengenali panggilan Tuhan, menemukan tempat kita di dunia dan pada akhirnya, menemukan pelayanan.

Singkatnya, kita akan hidup di dalam kemaksimalan. JLI. 

#KiraKiraBegitu

#LIFEWords (Leo Imannuel Faith Enlightening Words)

Rabu, 15 Desember 2021

BEDA ANTARA MELIBATKAN TUHAN dan TERLIBAT DENGAN TUHAN

Kisah Para Rasul 13:36
"Sebab Daud melakukan kehendak Allah pada zamannya......."

Kehendak siapakah yang Daud lakukan?

Kehendak Tuhan!

Dari sini telihat bahwa keberhasilan kita selama hidup di dunia diukur dari KPI (Key Performance Indicator) apakah melakukan kehendak Tuhan atau tidak. 

Selama membangun pelayanan, karir, bisnis, keluarga, kehendak siapakah yang kita kerjakan?

Kehendak Tuhan atau ambisi pribadi?

Jika mengerjakan kehendak Tuhan, lalu kenapa dilakukan dengan cara-cara tidak benar? Mengapa ada manipulasi, intimidasi untuk mendominasi segalanya di bawah kendali diri sendiri?

Di akhir Tahun ini biasanya setiap organisasi, termasuk gereja sibuk mengadakan AGM (Annual General Meeting), alias meeting tahunan untuk menentukan program tahun depan.

Setelah itu berdoa memohon Tuhan memberkati berbagai program tersebut, meminta-Nya untuk terlibat di dalam semua program kita. 

Lalu bagaimana dengan program Tuhan?

Program kita menjadi program-Nya, kita memberikan proposal kepada-Nya supaya semua program yang kita buat menjadi program-Nya.

Itu namanya melibatkan Tuhan. 

Bagaimana jika dibalik, kita tidak memiliki program apapun, hanya duduk di kaki Tuhan di dalam doa dan perenungan firman-Nya, melatih kepekaan dan kecerdasan rohani, supaya dapat menangkap isi hati-Nya, baru kemudian membuat program. 

Baru kemudian berdoa berterima kasih kepada-Nya karena telah dilibatkan-Nya di dalam program-Nya.

Sepertinya secara praktikal sama saja kan?

Namun, secara prinsipil ada perbedaan besar di dalam melibatkan Tuhan dan terlibat dengan Tuhan.

Sehingga pada akhirnya nanti hidup dapat disimpulkan bahwa "telah melakukan kehendak Tuhan pada zaman kita."

#LIFEWords (Leo Imannuel Faith Enlightening Words) 

Minggu, 12 Desember 2021

HUBUNGAN

Dalam kekristenan mana lebih penting ritual atau hubungan?

Menurut saya hubungan jauh lebih penting.

Ritual, kegiatan agama termasuk ibadah dan berbagai pernak-pernik aksesoris lainnya bisa dilakukan tanpa pernah memiliki hubungan dengan Pribadi yang mana semuanya itu diperuntukan bagi-Nya.

Jika semua pernak-pernik itu dilepaskan, termasuk semua ritual itu tidak bisa dilakukan apa yang masih tinggal?

Hubungan!

Jika tidak ada hubungan, lalu apa yang masih tinggal?

Nothing!
Kosong!

Maka seharusnya kedalaman kita beragama bukan difokuskan pada semua ritual dan berbagai pernak-pernik aksesoris lainnya, melainkan pada membangun hubungan dengan Tuhan.

Karena, bukankah ketika jatuh dan terusir dari Taman Eden manusia kehilangan hubungan dengan penciptanya?

Adam dan Hawa tidak kehilangan ritual dan berbagai pernak-pernik aksesoris lainnya, bahkan entahkah ada atau tidak itu semua di dalam sana, bahkan apakah agamapun ada di sana?

Agama dan semua yang menyertainya tercipta setelah kejatuhan.

Dari sepuluh hukum Taurat, keseluruhannya berbicara mengenai hubungan.

Hubungan dengan Tuhan dan antar sesama manusia.

Orang-orang luar biasa sepanjang sejarah yang Alkitab tulis adalah orang-orang yang bergaul karib dengan Tuhan.

Contohlah Henokh, di dalam Kejadian 5:24  "Dan Henokh hidup bergaul dengan Allah, lalu ia tidak ada lagi, sebab ia telah diangkat oleh Allah."

Semua orang-orang salehnya Tuhan memiliki kesamaan, bergaul karib dengan Tuhan. 

Bahkan kelahiran Tuhan Yesus Kristuspun dalam rangka untuk memulihkan hubungan yang pernah rusak di Taman Eden. 

Namun, sayang seribu kali sayang, kita lebih sibuk berkutat membangun aksesoris bukan hubungan. 

Panggilan keagamaan seperti Pastor, Pendeta, bahkan yang lebih membahana seperti rasul dan nabi lebih dibangun daripada hubungan dengan Tuhan, termasuk gelar-gelar akademisi teologi yang bahkan oleh sebagian orang didapat dengan menukar dengan sejumlah uang, berbagai doktrin dan ajaran yang melahirkan kefanatikan buta si pengajar dan sangat diharapkan terutama pengikutnya, gedung gereja megah, di lokasi-lokasi utama, menjadi sesuatu yang dikejar, namun miskin hubungan. 

Saya tidak bilang itu semua itu tidak penting, namun jangan lupakan yang esensi, yaitu hubungan dengan Sang Pencipta. 

Sebegitu tergila-gilanya kita dengan ritual dan pernak-pernik aksesoris keagamaan sampai-sampai kita mengarahkan semua sumber daya untuk memperindahnya, termasuk dengan memanipulasi, mendominasi dan mengintimidasi, entah sadar atau tidak ketika melakukannya.

Daaaan... Melupakan membangun hubungan dengan Tuhan.

Karena sudah terlalu lelah untuk bangun pagi lalu berdoa, terlalu segan untuk membaca Alkitab dan membiarkannya berbicara kepada kita di dalam perenungan atau meditasi.

Betapa malangnya jika di akhir nanti Tuhan berkata: "Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!" Matius 7:23

#KiraKiraBegitu
#LIFEWords (Leo Imannuel Faith Enlightening Words) 

PELAYANAN, PEKERJAAN atau JATI DIRI?

Menurut KBBI jati diri adalah inti, jiwa, semangat, dan daya gerak dari dalam; spiritualitas. 

Menurut saya jati diri akan melahirkan mentalitas, yang menurut kamus yang sama berarti: keadaan dan aktivitas jiwa (batin), cara berpikir, dan berperasaan.

Semua pelayanan yang kita lakukan, termasuk pesan yang kita sampaikan, apakah itu sebuah pekerjaan atau jati diri?

Gini maksudnya,

Sederhananya, saya seorang ayah.

Menjadi seorang ayah adalah jati diri dan sekaligus mentalitas yang melahirkan pekerjaan menjadi seorang ayah.

Artinya ada tanggung jawab yang mesti dipenuhi.

Dimanapun dan selama saya hidup, saya adalah seorang ayah. 

Tidak ada gaji, namun dilakukan dengan sukacita, semata-mata karena menjadi seorang ayah sudah menjadi jati diri saya.

Nah, hubungannya dengan pelayanan adalah begini,

Apakah pelayanan dan pesan yang kita sampaikan hanya sebuah pekerjaan atau sudah menjadi jati diri kita.

Contohnya, seseorang yang mengaku sebagai pelayan anak-anak  muda, dia banyak melakukan kegiatan pelayanan untuk anak-anak muda, selalu berada di antara anak-anak muda, hampir seluruh pesannya, baik khotbahnya maupun status sosmed-nya mengenai anak-anak muda.

Itu bagus dan sudah semestinya demikian, namun bagaimana jika mendapat 'mainan' baru (baca: pelayanan baru) yang tidak ada hubungannya dengan anak-anak muda, masihkah dia menggebu-gebu mengenai anak-anak muda?

Jika tidak, maka dapat dipastikan pelayanan anak-anak muda hanyalah sebuah pekerjaan dan belum menjadi jati diri di dalam dirinya.

Begitu pula dengan pelayanan doa, selalu berbicara mengenai doa, membuat acara-acara doa, namun apakah dia seorang pendoa?

Belum tentu, bisa jadi dia menggebu-gebu berbicara mengenai doa hanya karena bergabung di organisasi para church yang memfokuskan pelayanannya di doa.

Begitu dia pindah pelayanan ke organisasi para church dengan fokus beda, pasti dia akan menggebu-gebu dalam hal lain.

Ini artinya doa hanya menjadi sebuah pekerjaan dan bukan jati diri.

Jadi, bagaimana dong?

Semua bermula dari panggilan.

Ketika Tuhan memanggil Musa, maka respon Musa adalah: ".... "Siapakah aku ini..... " Keluaran 3:11.

Sebuah pertanyaan mengenai keraguan jati diri.

Ketika Tuhan memanggil, maka panggilan-Nya pertama-tama bukanlah menjadi sebuah pekerjaan, melainkan menjadi sebuah jati diri dan kemudian mentalitas, barulah setelah itu secara naluri akan menjadi pekerjaan yang dilakukan.

Bukan lagi hanya sekedar menjalankan tugas, namun tidak bisa tidak dia akan melakukannya, karena itu adalah jati dirinya, siapa dia, isi hatinya, mimpinya, hasratnya, dirinya sepenuhnya dan seutuhnya.

Ujiannya adalah ketika tidak ada keuntungan atau ditawarkan keuntungan yang lebih, apakah pindah?

Tuhan menawari Musa sebuah keuntungan besar dalam peristiwa anak lembu emas di dalam keluaran 32,  ketika Tuhan hendak membinasakan bangsa Israel dan kemudian menawarkan Musa menjadi nenek moyang dari bangsa di mana karya keselamatan Tuhan akan dinyatakan: "...... tetapi engkau akan Kubuat menjadi bangsa yang besar." 10b.

Musa menolak dan membujuk Tuhan untuk mengampuni bangsanya.

Respon Musa hanya dapat terjadi ketika panggilan Tuhan telah menjadi jati dirinya.

Jadi, pertama-tama adalah panggilan, kemudian panggilan menjadi jati diri, jati diri menjadi mentalitas, output logis dan natural dari mentalitas adalah aktivitas  sehari-hari yang kita sebut pelayanan.

Nah, dari panggilan menjadi jati diri ini perlu proses.

Pertama-tama, menerima panggilan Tuhan, kemudian berproses agar panggilan tersebut menjadi jati diri.

Setelah menerima panggilan, harus wajib membangun hidup di atas panggilan, menyesuaikan hidup dengan panggilan, bukannya panggilan yang disesuaikan dengan hidup.

Ini berarti, pekerjaan, pendidikan, domisili, buku yang dibaca, seminar yang dihadiri, rekan-rekan komunitas, dll, harus disesuaikan dengan panggilan.

Kemudian, tantangan akan menjadi ujian bagi proses panggilan menjadi jati diri.

Di dalam proses terbayang kerugian jika bertahan dan keuntungan yang terbayang jika pergi.

Jika bertahan, maka panggilan akan  menjadi jati diri, kemudian mentalitas dan barulah pelayanan.

Inilah yang diingatkan Mordekhai kepada Ester, 

"..... Siapa tahu, mungkin justru untuk saat yang seperti ini engkau beroleh kedudukan sebagai ratu." Ester 4:14.

"Siapa tahu ini adalah panggilan dan pelayanan kamu." kira-kira demikian yang Mordekhai katakan kepada keponakannya itu. 

Pelayanan ratu Ester adalah menyelamatkan bangsanya dari kemusnahan akibat ethnic cleansing yang diplot oleh Haman. 

Ester melakukannya, meski ancaman mati terbayang. 

Pelayanan akan tetap dilakukan meski tidak ada keuntungan yang membayangi.

Seseorang yang panggilannya telah menjadi jati dirinya tidak akan melayani atas dasar motivasi keuntungan (baca: uang dan ketenaran) yang didapat, kepuasannya adalah pelayanannya itu sendiri.

Contoh Paulus, dia mengerti panggilannya adalah memberitakan Injil. 

1 Korintus 1:17a
"Sebab Kristus mengutus aku bukan untuk membaptis, tetapi untuk memberitakan Injil..... "

Sehingga Paulus berpendapat seorang pemberitaan Injil harus membangun hidup di dalam tugas pemberitaannya tersebut.

1 Korintus 9:14
"Demikian pula Tuhan telah menetapkan, bahwa mereka yang memberitakan Injil, harus hidup dari pemberitaan Injil itu."

Panggilannya telah menjadi jati dirinya, sehingga semua yang dilakukan bukan atas dasar ketenaran atau kekayaan, melainkan jati dirinya. 

1 Korintus 9:16
"Karena jika aku memberitakan Injil, aku tidak mempunyai alasan untuk memegahkan diri. Sebab itu adalah keharusan bagiku....." 

Karena memberitakan Injil adalah panggilan yang kemudian menjadi jati dirinya maka tidak bisa tidak Paulus harus memberitakan Injil. 

Ayat 16 ditutup dengan kalimat:
"..... Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil."

Jadi, upah atau kesenangan Paulus bukanlah uang atau ketenaran melainkan ya pelayanannya itu. 

1 Korintus 9:18
"Kalau demikian apakah upahku? Upahku ialah ini: bahwa aku boleh memberitakan Injil tanpa upah, dan bahwa aku tidak mempergunakan hakku sebagai pemberita Injil."

Saya tutup dengan pernyataan ini, sebuah aktivitas belum dapat dikatakan pelayanan sampai hal itu menjadi kesukaan Anda. 

Agar supaya pelayanan menjadi kesukaan sebelumnya Anda harus mengenali panggilan, menerimanya, lalu membangun hidup di atasnya, sampai panggilan itu menjadi jati diri Anda, mentalitas Anda dan pada akhirnya secara alami akan membuahkan aktivitas yang disebut sebagai pelayanan. 

Bahkan, meskipun tidak diembel-embeli oleh istilah pelayanan, Anda akan tetap melakukannya, karena Anda adalah pelayanan Anda tersebut. Tidak dapat dipisahkan. JLI.

#KiraKiraBegitu

#LIFEWords (Leo Imannuel Faith Enlightening Words)

Kamis, 09 Desember 2021

KUASA UNTUK MENIKMATI

Pengkhotbah menuliskan sebuah kemalangan bagi anak-anak manusia di kolong langit ini 

Pengkhotbah 6:1-2
(1) "Ada suatu kemalangan yang telah kulihat di bawah matahari, yang sangat menekan manusia:" 
(2) "orang yang dikaruniai Allah kekayaan, harta benda dan kemuliaan, sehingga ia tak kekurangan suatu pun yang diingininya, tetapi orang itu tidak dikaruniai kuasa oleh Allah untuk menikmatinya, melainkan orang lain yang menikmatinya! Inilah kesia-siaan dan penderitaan yang pahit."

Orang-orang beruang, namun tidak memiliki kuasa untuk menikmati kekayaannya. 

Saya pernah membaca kisah hidup John D. Rockefeller, milioner pertama di dunia. 

Kabarnya, tanah di Manhattan yang menjadi lokasi gedung PBB adalah hasil sumbangannya. 

Kira-kira satu abad yang lalu penghasilannya 1 juta dolar per minggu, namun karena penyakit pencernaan yang akut John D. Rockefeller hanya dapat makan makanan lembut, semacam bubur yang disaring seharga 2 dolar saja. 

Orang terkaya di dunia namun, tragis karena tidak dapat menikmati kekayaannya. 

Perumpamaan Tuhan Yesus di dalam Lukas 12:13-21 juga menceritakan orang kaya bodoh yang pada akhirnya hanya dapat menuai namun kuasa untuk menikmatinya dicabut oleh Tuhan. 

Apakah itu 'menikmati' kekayaan? 

Apakah foya-foya, pesta pora, dapat membeli segala sesuatu yang diinginkan hati? 

Saya rasa bukan itu yang dimaksud oleh Pengkhotbah. 

Menurut saya menikmati kekayaan adalah sebuah kuasa yang dianugerahkan oleh Tuhan yang memberikan kekayaan tersebut agar kekayaan yang dianugerahkan-Nya dapat memberikan kepuasan bathin dengan menggunakannya bagi tujuan-tujuan ilahi. 

Apakah foya-foya dapat memberikan kepuasan bathin? Apakah pesta pora dapat memberikan kegembiraan yang abadi? 

Tentu tidak! 

Tuhan menciptakan manusia dengan sebuah lobang kantung kebutuhan di dalam jiwa yang hanya dapat dipuaskan oleh-Nya, supaya manusia senantiasa ingat dan bergantung kepada-Nya senantiasa. 

Kepuasan sejati dari Tuhan ini tidak dapat dibeli dengan uang, hanya dengan hati yang berserah kepada-Nya. 

Uang dapat juga memberi sukacita, namun berbeda dari yang Tuhan beri. 

Uang dapat memberi sukacita jika digunakan untuk tujuan-tujuan yang Tuhan beri. 

Ada orang yang menemukan sukacitanya ketika memakai uangnya untuk menolong anak-anak miskin, atau untuk dunia pendidikan, dlsb. JLI. 

Pengkhotbah 5:18
"Setiap orang yang dikaruniai Allah kekayaan dan harta benda dan kuasa untuk menikmatinya, untuk menerima bahagiannya, dan untuk bersukacita dalam jerih payahnya - juga itu pun karunia Allah."

#KiraKiraBegitu

#LIFEWords (Leo Imannuel Faith Enlightening Words)

Selasa, 07 Desember 2021

PERHATIKAN BENIH TABURAN

Buat sebagian orang istilah menabur selalu identik dengan uang.

Tidak sepenuhnya salah, namun juga berarti tidak sepenuhnya benar.

Setiap hari kita selalu menaburkan berbagai macam benih, apakah itu kebaikan atau keburukan.

Tingkah laku, tutur kata, perbuatan baik, senyum menabung, beribadah, bahkan kelicikan, nyinyir, iri hati, muka masam, tidak ramah, kikir adalah berbagai macam taburan yang kita taburkan di dalam kehidupan.

Jika demikian bahkan orang paling kikirpun setiap saat menabur.

Apakah Anda ingat dengan peribahasa "siapa menabur angin, akan menuai badai"?

Kalimat yang berarti siapa berbuat dia sendiri akan menanggung akibatnya ini dikutip oleh Bung Karno dalam salah satu bukunya dan dlkemudian dijadikan judul buku oleh Soegiarso Soeroyo pada tahun 1988.

Namun, sebenarnya kalimat tersebut berasal dari nabi Hosea di dalam kitabnya pasal 8:7a

"Sebab mereka menabur angin, maka mereka akan menuai puting beliung......"

Oleh karena orang akan menuai apa yang mereka taburkan, oleh karenanya bukankah sebaiknya berhati-hati dengan apa yang kita taburkan setiap saat?

Peringatan Tuhan Yesus di dalam Matius 7:12, yang berbunyi 
"Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi."

Menurut saya berada di dalam konteks hukum tabur tuai. Bahkan Alkitab banyak menulis mengenai hukum ini.

Jadi, jika kita hendak menuai yang baik maka menaburlah kebaikan.

Yesaya 53:5 mencatat sebuah hukum tabur tuai yang berbeda, 

"Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh."

Nubuatan mengenai penderitaan Tuhan Yesus ini menyiratkan taburan kejahatan seseorang, diganti tuaikan oleh-Nya.

Sebenarnya ini wujud ketidakadilan yang dialami Kristus, namun pada sisi lain ini adalah wujud kasih karunia bagi setiap manusia.

Lalu, apakah orang jahat akan begitu saja lolos dari perbuatan jahatnya?

Menurut saya tidak demikian.

Yang ditanggung oleh Kristus adalah dosanya, namun akibat perbuatan dosa di dalam hidup sehari-hari ditanggungnya.

Seperti misalnya penjudi yang jatuh miskin, kemudian bertobat, apakah dia mendadak dalam semalam langsung kaya lagi?

Tentu tidak demikian, dia harus menuai apa yang dia taburkan.

Singkatnya, berhati-hatilah dengan apa yang kita taburkan. JLI. 

#KiraKiraBegitu

#LIFEWords (Leo Imannuel Faith Enlightening Words)

Senin, 06 Desember 2021

PENABUR dan PENUAI ITU SEBUAH MENTALITAS

Menabur itu sebuah mentalitas.

Apa itu mentalitas? 

Menurut KBBI, mentalitas adalah keadaan dan aktivitas jiwa (batin), cara berpikir, dan berperasaan. 

Seseorang dapat menabur walau hanya sesekali, alias jarang-jarang bahkan sangat jarang, mereka melakukannya karena berbagai macam alasan.

Namun, seseorang yang irama hidupnya adalah menabur, pasti memiliki mentalitas seorang penabur.

"Saya paling semangat ketika gembala saya menantang untuk janji iman."

Ucap seorang jemaat dari sebuah gereja, di sebuah kota kepada saya.
Beliau melanjutkan,

"Meski sedang tidak memiliki uang, pasti saya akan menabur, saya percaya Tuhan pasti mencukupkan."

"Dan tiap kali selalu disediakan oleh Tuhan supaya saya dapat melunasi janji iman tersebut."

Ujarnya dengan semangat.

Dari gaya hidupnya dapat terlihat bahwa menabur sudah menjadi mentalitasnya.

Oleh karenanya setiap kesempatan menabur menjadi sukacita tersendiri  baginya.

Lalu bagaimana dengan menuai?

Apakah menuai juga memerlukan mentalitas?

Menurut saya iya.

Begini, ketika seseorang selalu menabur atau memberi, maka hal itu akan menjadi sebuah kebiasaan baginya, sementara misalnya ketika ada seseorang yang selalu menerima limpahan kebaikannya ganti memberi, maka dirinya menjadi agak canggung bahkan menolak.

Ini sama artinya dia menolak musim penuaian yang sudah tiba baginya.

Seharusnya jangan ditolak, terima saja, jikalau memang ingin mengembalikan, gunakan cara lain, tapi jangan ditolak.

Karena sebenarnya yang ditolak bukan pemberiannya, namun musim penuaian yang sedang datang mengetuk pintu hidup Anda. 

Orang yang menabur memang harus menuai.

"Seorang petani yang bekerja keras haruslah yang pertama menikmati hasil usahanya." 2 Timotius 2:6.

Jadi, bahkan menuaipun perlu sebuah mentalitas.

Dalam hal ini tentunya mentalitas yang benar, baik dalam hal menabur atau menuai.

Memang, setiap orang yang menabur pasti menuai, namun jangan jadikan musim menuai sebagai motivasi utama untuk menabur.

Menaburlah karena Anda sudah mengalami berkat Tuhan.

Anda menabur karena Anda sudah diberkati Tuhan, sehingga ketika waktunya menuai, anggaplah itu sebagai kebaikan Tuhan.

Jangan jadi seorang penjudi.

Seorang penjudi menabur demi sebuah keuntungan, dan dibalik keuntungan ada kerugian yang membayangi.

Menaburlah karena Anda mengasihi Tuhan dan juga sesama.

Di dalamnya ada hanya ada sukacita.

Sekali lagi, ingatlah bahwa baik menabur atau menuai memerlukan sebuah mentalitas. JLI. 

#KiraKiraBegitu

#LIFEWords (Leo Imannuel Faith Enlightening Words)

Jumat, 03 Desember 2021

MENIRU YANG BAIK

3 Yohanes 1:11
"Saudaraku yang kekasih, janganlah meniru yang jahat, melainkan yang baik. Barangsiapa berbuat baik, ia berasal dari Allah, tetapi barangsiapa berbuat jahat, ia tidak pernah melihat Allah."

Istilah mimik (KBBI: peniruan dengan gerak gerik anggota badan dan taut muka), diindonesiakan dari kata dalam bahasa Inggris, mimick (Webster: to imitate closely - meniru dengan mirip), berasal dari bahasa Yunani mimeomai (μιμέομαι) yang oleh Strong Dictionary diterjemahkan sebagai 'to imitate' = mengimitasi, meniru, seorang aktor. 

Paulus dalam 2 Tes 3:7 juga menggunakan kata mimeomai dan LAI menerjemahkannya sebagai  'mengikuti' (teladan). 

Jadi, nasihat Rasul Yohanes ini bisa diartikan janganlah meniru atau mengikuti teladan orang jahat dengan perilakunya yang jahat, melainkan harus meniru perbuatan baik.

Memiliki idola atau mengikuti teladan, bukan hanya ketika kita senang dengan seseorang, artist misalnya, melainkan juga ketika kita membenci seseorang karena tersakiti.

Koq, bisa?

Bisa, ketika kita menyimpan kemarahan dan kebencian, lalu membalas dendam, baik kepada yang menyakiti kita, atau kepada orang lain yang menjadi sasaran kemarahan/kebencian kita.

Ketika melakukannya sebenarnya kita sedang mimeomai atau mengikuti teladan kejahatan.

Itulah alasan Paulus menasihati jemaat di kota Roma untuk mimeomai hal yang baik:

"Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan; lakukanlah apa yang baik bagi semua orang!" Roma 12:17.

Mengikuti apa yang baik, mengikuti teladan yang baik, dan dengannya kita menjadi teladan dalam segala perbuatan baik.

Dalam konteks 3 Yohanes ini, perbuatan baik itu adalah menjaga dan memelihara kedamaian di dalam jemaat, sebagaimana yang telah diteladankan oleh Gayus, yaitu menjadi orang benar dan melakukan kebenaran dengan cara menolong sesama jemaat yang bahkan dia tidak kenal.

Kebenaran dan perbuatan baik Gayus ini dikontraskan dengan perbuatan jahat Diotrefes yang kebelet ingin jadi terkemuka, berambisi menjadi nomor satu (philoproteuo) sehingga Dia berani menanduk pemimpinnya, bahkan Rasul Yohanes sendiri, dan menciptakan perpecahan di dalam jemaat.

Hal ini tentu bertentangan dengan perintah Tuhan Yesus,

Matius 20:26-28
(26) "Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu,"
(27) "dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu;"
(28) "sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang."

Setiap murid-Nya tentu boleh menjadi besar atau terkemuka, namun bukan dengan cara-cara jahat dan memberontak seperti yang dilakukan oleh Diotrefes, melainkan dengan cara-cara kasih dan melayani sebagaimana yang diteladankan oleh Gayus.

Yuk, kita semua meneladankan (mimeomai) kebaikan Gayus dengan melakukan perbuatan baik, paling tidak di antara jemaat.

#LIFEWords (Leo Imannuel Faith Enlightening Words)

Rabu, 01 Desember 2021

PERINTAH TUHAN ITU RINGAN?

1 Yohanes 5:3-4
(3) "Sebab inilah kasih kepada Allah, yaitu, bahwa kita menuruti perintah-perintah-Nya. Perintah-perintah-Nya itu tidak berat,"
(4) "sebab semua yang lahir dari Allah, mengalahkan dunia. Dan inilah kemenangan yang mengalahkan dunia: iman kita."

Tanda kasih kepada Tuhan adalah ketaatan terhadap perintah-perintah-Nya yang tidak berat alias ringan.

Koq, (jadi) ringan?
Koq, (jadi) berat?

Apa yang membuat perintah-perintah Tuhan itu jadi berat atau ringan?

Sederhana, sikap kita terhadap dunia dan semua kemewahan yang ditawarkannya, membuat perintah-perintah Tuhan menjadi berat atau ringan.

Jika hati kita lebih condong kepada keuntungan yang dunia tawarkan maka perintah-perintah-Nya menjadi berat, namun jika hati kita lebih condong kepada Tuhan maka akan menjadi ringan.

Contohnya, jika fokus kita terhadap kekayaan melebihi kekudusan, maka perintah Tuhan untuk tidak mencuri (korupsi, kolusi dan segala kejahatan yang menjadi syarat untuk memperoleh kekayaan) menjadi sesuatu yang berat.

Sebaliknya jika kita lebih fokus atau concern terhadap kekudusan, maka menaati perintah-Nya untuk tidak mencuri adalah sesuatu yang ringan.

Demikian juga di dalam segala aspek kehidupan, ketika kita diperhadapkan dengan pilihan taat kepada Tuhan atau kepada dunia, ringan atau beratnya bergantung kepada sikap kita terhadap Tuhan dan perintah-perintah-Nya.

Maka di ayatnya yang ketiga, Rasul Yohanes menegaskan bahwa yang lahir dari Allah mengalahkan dunia.

Seseorang yang lahir baru, bertobat, metanoia, perubahan pola pikirlah yang mampu mengalahkan dunia.

Sampai Kristus lahir di hatinya, sampai hatinya percaya sungguh-sungguh kepada Tuhan Yesus dan firman-Nya, dia tidak akan bisa berkata seperti Paulus, 

"Tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus." Filipi 3:7. 

Saya tidak sedang mengatakan bahwa tidak ada yang baik di dunia, tidak, saya tidak bilang seperti itu.

Hanya saja kebahagiaan, kekayaan, kemuliaan yang dunia tawarkan itu fana, bahkan kadang palsu, ujungnya membawa maut.

Namun, Kristus menawarkan sesuatu yang sejati dan kekal.

Dia menebus manusia dan seluruh kehidupannya, Tuhan Yesus menawarkan dan memberikan kehidupan sejati, ini artinya kebahagiaan sejati, kekayaan sejati, dan kemuliaan sejati dan tentunya kekal.

Untuk memperolehnya hati manusia harus mampu berpaling dari dunia kepada Kristus.

Ketika kita mampu melakukannya, kita telah mengalahkan dunia. 

Itulah iman.

#LIFEWords (Leo Imannuel Faith Enlightening Words)